Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

DP 0 Persen Tak Signifikan, Ini Paket Lengkap Stimulus Versi Developer

Pemerintah menetapkan uang muka 0 persen dalam pembelian properti. Pengembang menilai itu jauh dari ncukup jika diharapkan ingin mendongkrak bisnis properti yang tertekan akibat pandemi Covid-19.
Ilustrasi proses pembangunan perumahan untuk masyarakat kelas menengah./Bisnis/Paulus Tandi Bone
Ilustrasi proses pembangunan perumahan untuk masyarakat kelas menengah./Bisnis/Paulus Tandi Bone

Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia menetapkan loan to value (LTV) dan financing to value (FTV) 100 persen untuk kredit properti. Kebijakan uang muka (down payment/DP) 0 persen itu disampaikan secara langsung oleh Presiden Joko Widodo.

Artinya, seluruh kebutuhan dana dalam memperoleh kredit properti ditanggung oleh bank, konsumen tidak perlu membayar uang muka mulai 1 Maret 2021.

Selain itu, BI juga menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate atau suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 3,50 persen.

Namun, rentetan kebijakan tersebut dinilai belum cukup atau belum akan berdampak signifikan pada sektor properti.

Wakil Sekjen Bidang Properti Syariah DPP Realestat Indonesia Royzani Sjachril mengatakan kebijakan uang muka 0 persen harus diikuti oleh penurunan suku bunga KPR di perbankan. Pasalnya, Bank Indonesia telah menurunkan BI 7 Reverse Repo Rate menjadi 3,5 persen

"Sekarang ada kebijakan DP sampai 0 persen. Kita berharap bunga segera turun, yang terjadi saat ini BI 7 Reverse Repo Rate turun, tapi bunga KPR dan kredit konstruksi tidak turun serta merta," ujarnya dalam webinar virtual pada Jumat (19/2/2021).

Perbankan diharapkan dapat menyesuaikan bunga seperti yang selama ini dijalankan pemerintah lewat Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), setidaknya mendekati bunga rumah FLPP yang paling tidak 8 persen dengan tenor lebih lama.

Terkait dengan DP 0 persen, lanjutnya, diperlukan dukungan stimulus fiskal pada jangka pendek seperti pengurangan PPh final, PPN, PBB, BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) dan retribusi daerah, dan relaksasi administrasi transaksi pembelian properti. Selain itu, restrukturisasi kredit dan pembelian kredit modal kerja.

"Pengurangan PPh final, PPN, PBB, BPHTB diperlukan untuk lebih merelaksasi sektor properti dan membangkitkan minat masyarakat," kata Sjachril.

Menurutnya, biaya administrasi seperti BPHTB, biaya administrasi KPR, biaya asuransi, juga PPN bisa menambah biaya rumah 18 persen hingga 20 persen. Oleh karena itu, stimulus fiskal ini perlu dilakukan untuk menopang sisi permintaan.

Untuk jangka menengah, Sjachril mengusulkan agar pemerintah menunda penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 72 mengenai pengakuan pendapatan dan kontrak dengan pelanggan.

"Kami juga mengusulkan ada relaksasi ketentuan pengajuan pailit ke pengembang dan relaksasi aturan pajak yang tumpang tindih dan kewajiban penyediaan area UMKM," ucapnya.

Di bidang perpajakan, REI mengusulkan program sunset policy (penghapusan sanksi administrasi perpajakan) dengan pengenaan tarif 5 persen terhadap aset kekayaan yang belum dilaporkan dalam SPT oleh Wajib Pajak.

REI juga meminta penundaan pemeriksaan ekstensifikasi pajak pada pembelian rumah dan properti lainnya. Ekstensifikasi perpajakan adalah pengawasan yang dilakukan oleh Ditjen Pajak terhadap Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif namun belum mendaftrakan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-01/PJ/2019).

REI juga menyarankan agar pemerintah menurunkan PPh final atas jasa persewaan tanah dan bangunan dari 10 persen menjadi 5 persen.

Selanjutnya, pemerintah diharapkan dapat memberikan diskon PPN dan BPhTB dapat ditanggung oleh pemerintah selama 6 bulan masa pandemi Covid-19.

"Selanjutnya, penghapusan threshold luasan bangunan dalam PPh pasal 22 atas hunian super mewah agar selaras  dengan berlakunya pengenaan PPnBM," tuturnya.

Selain itu, REI mengusulkan agar perbankan dapat membuka akses bagi masyarakat yang tidak berpenghasilan tetap mampu membeli rumah.

"Kita berharap perbankan membuka akses kredit perumaham kepada semua segmen. Pada masa pandemi perbankan selektif dengan membatasi konsumen rumah, hanya untuk ASN/TNI/Polri/karyawan BUMN dan karyawan swasta yang memiliki penghasilan tetap," ucapnya.

Sjachril berharap perbankan lebih terbuka kepada non-fixed income, karena banyak end user properti yang berada di level UMKM dan wiraswasta yang ingin membeli properti.

Terakhir, REI menilai perlu penundaan angsuran untuk masyarakat berpenghasilan rendah selama masa pandemi atau setidaknya 6 bulan. “Mungkin diperlama lagi tenornya lebih dari 20 tahun. Selain itu, ada juga penguatan bank daerah untuk menyerap kredit dari wiraswasta terutama untuk non-fixed income," tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper