Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Revisi PLTS Atap: Nilai Transaksi kWh Ekspor Diharapkan Naik

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim menilai bahwa besaran perhitungan ekspor energi dari PLTS atap sebesar 65 persen terlalu menguntungkan PLN.
PLTS Terapung Cirata 145 MW yang terbesar di Asia Tenggara/BKPM
PLTS Terapung Cirata 145 MW yang terbesar di Asia Tenggara/BKPM

Bisnis.com, JAKARTA--Guna menarik minat pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, nilai transaksi ekspor energi dari PLTS atap diharapkan dapat disesuaikan menjadi 100 persen.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim menilai bahwa besaran perhitungan ekspor energi dari PLTS atap sebesar 65 persen terlalu menguntungkan PLN. Oleh karena itu, dia memandang besaran perhitungan tersebut perlu dinaikkan agar PLTS atap semakin meningkat kelayakannya dan dapat semakin terakselerasi pemanfaatannya.

"Kami di DEN sepakat untuk minta exchange ekspor-impor itu 100 persen, tidak 65 persen. Pemerintah saya dengar mau buat 80 persen, tapi DEN berpikir 100 persen," kata Herman, baru-baru ini.

Jika tidak memungkinkan untuk meningkatkan nilai transaksi kWh ekspor menjadi 100 persen, dia mengusulkan agar nilai transaksi diberlakukan secara progresif.

"Misal, konsumsi listriknya 1.000 kWh, ekspornya [ke PLN] 250 kWh, itu diakui 100 persen. Kalau misal ekspor dia 500 kWh, yang 250 diakui 100 persen, yang 250 sisanya diakui 75 persen. Jadi orang menjaga agar ekspornya tidak terlalu banyak dan PLN tidak usah khawatir," katanya.

Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Andhika Prastawa berharap agar nilai transaksi ekspor energi PLTS atap bisa diperhitungkan sebesar 100 persen untuk lebih menarik pelanggan menggunakan PLTS atap.

Selain memperbaiki regulasi, Andhika juga menyarankan pemerintah untuk mendorong PLN agar menyediakan petunjuk pelaksanaan (juklak) yang jelas mengenai pelayanan terhadap pelanggan yang ingin memasang PLTS atap. Dia menilai hingga saat ini seringkali masih terjadi kebingungan, baik dari sisi pelanggan maupun pihak PLN, dalam mengurus perizinan pemasangan PLTS atap.

"Sekarang ini secara psikologis nilai tukar yang penting. Kedua, belum seragamnya pemahaman manajerial PLN di daerah dalam merespon permohonan sambungan PLTS rooftop. Ada yang cepat, ada yang ragu-ragu, jadinya ini menghambat. Jadi perlu peraturan direksi PLN yang mengatur streamline dan secara straightforward aplikasi solar rooftop di seluruh Indonesia," katanya kepada Bisnis.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah merevisi regulasi mengenai pemanfaatan PLTS atap. Salah satu ketentuan yang dinilai belum cukup menarik dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018, adalah mengenai perhitungan transaksi kredit energi listrik pelanggan.

Pemanfaatan PLTS atap memungkinkan konsumen PLN untuk mentransfer energi listrik yang dihasilkan oleh PLTS atap kepada PLN melalui skema ekspor-impor. Jumlah energi yang ditransaksikan kepada PLN nantinya dapat menjadi pengurang tagihan listrik konsumen sehingga masyarakat bisa melakukan penghematan listrik.

Tagihan listrik pelanggan dihitung berdasarkan jumlah kWh yang diimpor pelanggan dari PLN dikurangi dengan nilai kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali 65 persen (0,65).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper