Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sejumlah Mega Proyek Petrokimia Miliar Dolar AS Terancam Gagal, Ada Apa?

Pelaku industri petrokimia berharap RPP Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha dan PMK yang akan terbit​ dapat merinci sektor usaha tertentu​ dengan bidang usaha KBLI 20117 dan KBLI 20131 mendapat masa pengkreditan PPN Masukan hingga 15 tahun.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang memastikan langsung proyek revamping di PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur, 8 Oktober 2020. Pembangunan proyek ini perlu diakselerasi karena akan mendukung program substitusi impor dan penguatan struktur di sektor industri petrokimia. /Kemenperin
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang memastikan langsung proyek revamping di PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur, 8 Oktober 2020. Pembangunan proyek ini perlu diakselerasi karena akan mendukung program substitusi impor dan penguatan struktur di sektor industri petrokimia. /Kemenperin

Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku industri petrokimia berharap RPP Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha dan PMK yang akan terbit dapat merinci sektor usaha tertentu dengan bidang usaha KBLI 20117 dan KBLI 20131 mendapat masa pengkreditan PPN Masukan hingga 15 tahun.

Saat ini regulasi masa kredit PPN Indonesia terlampau pendek. Berdasarkan PMK No 31/PMK.03/2014, masa pengkreditan PPN Masukan hanya diberikan selama tiga tahun, dengan tambahan maksimal dua tahun.

Ketua umum Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia Suhat Miyarso mengatakan hal itu dapat menjadi salah satu hambatan mega proyek petrokimia di Indonesia terancam seluruhnya gagal atau sangat kecil kemungkinannya untuk bisa dieksekusi.

Hal itu karena belanja modal untuk mega proyek tersebut diberbagai negara biasanya sama. Tak hanya itu barang yang diproduksi adalah komoditas maka hasil produksinya pun serupa.

Artinya investor akan melihat Indonesia sebagai negara yang tidak layak investasi karena belanja modal sedari awal lebih mahal 10 persen dari negara lain. Belum lagi indikator ease of doing business di Indonesia yang relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara di Asean lainnya.

"Padahal industri petrokimia yang tergabung dalam asosiasi berencana membangun sejumlah mega proyek petrokimia yang tentunya dampak perekonomian yang didapatkan sangat besar mengingat nilai investasi per proyek mencapai miliaran dolar AS," katanya, Senin (8/2/2021).

Berikut ini beberapa mega proyek tersebut.

  • PT Lotte Chemicals yang akan membangun fasilitas produksi berkapasitas 1 juta ton Ethylene, 500.000 Propylene, 250.000 ton High Density Polyethylene, 400.000 ton Polypropylene.
  • PT Chandra Asri Petrochemical Tbk membangun fasilitas produksi 1 juta ton Ethylene, 585.000 ton Propylene, 750.000 ton Polyethylene (HDPE 450.000 ton dan LDPE 300.000 ton), 450.000 ton Polypropylene, 460.000 ton Pygas, 400.000 ton Crude C4 dan 160.000 ton Butadiene.
  • PT Pertamina (Persero) yang akan membangun naphta cracker dengan kapasitas 1 juta ton Ethylene di Tuban.
  • PT Nippon Shokubai Indonesia memperluas 100.000 ton Acrylic Acid dan 60.000 ton Super Absorber Polymer.
  • PT Asahi Chemicals memperluas 200.000 ton Polyvinyl Chloride.
  • PT IPC memperluas 20.000 ton PET, serta PT Sulfindo yang menambah 290.000 ton VCM dan 250.000 ton PVC.

Suhat mencontohkan salah satu proyek yang akan dibangun itu. PT Chandra Asri Perkasa (CAP2) memiliki potensi manfaat antara lain potensi manfaat ekonomi terhadap perekonomian sebesar US$2,90 miliar atau setara dengan Rp41,04 triliun per tahun.

Selain itu dari proyek tersebut berdasarkan perhitungan biaya dan manfaat fiskal, didapatkan nilai benefit cost ratio (BCR) masa pengkreditan pajak hingga 15 tahun sehingga alternatif tersebut layak diterima sebagai proyek dengan potensi keberlangsungan investasi yang tinggi.

Belum lagi, proyek itu dapat menambah penyerapan tenaga kerja berdasarkan golongan pokok industri secara nasional sebanyak 2,9 juta tenaga kerja dan meningkatkan peredaran upah skala nasional sebesar Rp8,56 triliun.

Terlebih akan ada penghematan devisa melalui subtitusi impor mencapai US$ 6 miliar per tahun serta pengembagan ekonomi daerah sebagai trickle down effect dari total investasi di sektor industri petrokimia yang mencapai US$ 15.5 miliar per tahun.

Suhat membeberkan dalam situasi normal, konfigurasi mega investasi petrokimia terintegrasi yang begitu kompleks memerlukan waktu konstruksi 5–8 tahun.

Namun, akibat dampak pandemi Covid-19, masa konstruksi diperkirakan lebih lama karena mobilisasi ribuan pekerja konstruksi dalam satu wilayah yang sama tidak sesuai dengan protokol keselamatan. Pandemi juga menyebabkan rencana final investment decision (FID) dari beberapa mega proyek tersebut mundur akibat shock yang terjadi pada industri petrokimia.

HAMBATAN REGULASI

Selain hambatan dari situasi pandemi, mega proyek tersebut juga berpotensi terkendala oleh regulasi masa kredit PPN Indonesia yang terlampau pendek. Berdasarkan PMK No 31/PMK.03/2014, masa pengkreditan PPN Masukan hanya diberikan selama tiga tahun, dengan tambahan maksimal dua tahun.

Suhat menyebut pendeknya masa kredit PPN tersebut menyebabkan mayoritas mega proyek petrokimia tidak dapat mengkreditkan PPN masukan (input tax) terhadap belanja modal yang justru banyak dibelanjakan mendekati akhir masa konstruksi.

Hal itu berimplikasi terhadap tingginya biaya modal pembangunan mega proyek petrokimia di Indonesia, karena PPN 10 persen yang tidak dapat dikreditkan akhirnya menjadi biaya modal.

Sebagai gambaran, mega proyek petrokimia terintegrasi dengan ethylene cracker kapasitas 1 juta ton per tahun memiliki capital expenditure typical US$5 miliar dengan demikian biaya modal dari PPN-nya saja bisa bernilai US$500 juta atau setara Rp7 triliun di luar biaya modal lainnya.

Suhat juga mencontohkan di Thailand dan Vietnam tidak memiliki batasan pengkreditan PPN bagi pengusaha kena pajak (PKP) belum berproduksi. Dengan demikian, investor akan cenderung melihat kedua negara tersebut sebagai lokasi yang lebih layak untuk ditanamkan investasi mega proyek petrokimia.

Pria yang juga menjabat sebagai Excecutive Director Federasi Industri Kimia Indonesia (FIKI) ini sangat menyayangkan mengingat saat ini kebutuhan bahan baku plastik di Indonesia mencapai 6,5 juta ton pertahun sedangkan kapasitas nasional masih di 3,3 juta ton per tahun dan kapasitas daur ulang di 1,7 juta ton per tahun.

"Hal ini berarti Indonesia impor 1,5 juta ton per tahun. Diperkirakan pada 2030, kebutuhan bahan baku plastik mencapai 11 juta ton per tahun. Sehingga, ketidakberhasilan investasi petrokimia dapat menggerus defisit neraca perdagangan lebih dalam lagi dan Indonesia menjadi negara tujuan ekspor," ujarnya.

Sisi lain, Suhat mengapresiasi berbagai dukungan dan respon cepat pemerintah, khususnya dalam konteks insentif pajak dan terbitnya UU Nonor 11/2020 tentang Cipta Kerja. UU ini, menurut dia, sebenarnya telah mengakomodir dalam pasal 9 ayat 6(c), bahwa sektor usaha tertentu dapat memiliki masa kredit lebih dari 3 tahun.

Namun, karena Indonesia terakhir memiliki mega proyek petrokimia kurang lebih 30 tahun yang lalu, bisa jadi pemangku kepentingan tidak menyadari bahwa ada megaproyek strategis yang membutuhkan masa kredit PPN hingga 15 tahun.

"Dengan demikian, kami mengingatkan dan memohon perhatian kepada pemangku kepentingan agar dapat mengakomodir hal ini dalam regulasi yang sesuai perundang-undangan," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Fatkhul Maskur
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper