Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dahsyat! Ekonomi Dunia Terbebani Utang Pandemi hingga Rp3.878 Kuadriliun

Menurut Institute of International Finance, utang global naik lebih dari US$15 triliun tahun lalu ke rekor US$277 triliun, setara dengan 365 persen output dunia atau Rp3.878 kuadraliun (Rp14.000/dolar AS).
Para kepala negara, dan kepala pemerintahan negara G20 saat sesi family photo di sela-sela menghadiri KTT G20, di Osaka, Jepang, Jumat (28/6/2019).  Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 digelar pada tanggal 28-29 Juni 2019./Reuters-Kim Kyung-Hoon
Para kepala negara, dan kepala pemerintahan negara G20 saat sesi family photo di sela-sela menghadiri KTT G20, di Osaka, Jepang, Jumat (28/6/2019). Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 digelar pada tanggal 28-29 Juni 2019./Reuters-Kim Kyung-Hoon

Bisnis.com, JAKARTA - Ekonomi dunia akan terbebani utang yang sangat besar begitu berhasil keluar dari pandemi, meningkatkan ketimpangan, dan membuat pertumbuhan melambat dalam jangka panjang. Hal itu mengemuka dalam pertemuan tahunan American Economic Association yang berakhir kemarin.

Menurut Institute of International Finance, utang global naik lebih dari US$15 triliun tahun lalu ke rekor US$277 triliun, setara dengan 365 persen output dunia atau Rp3.878 kuadraliun (Rp14.000/dolar AS). Utang dari semua sektor, mulai dari rumah tangga hingga obligasi pemerintah hingga perusahaan, melonjak.

Sementara itu, pertumbuhan global secara luas diperkirakan akan menguat karena lebih banyak orang yang divaksinasi, para ekonom di konferensi virtual itu berfokus pada ketimpangan dan dampak dari upaya untuk mengatasi dan memerangi Covid-19.

"Kita telah menghadapi setiap krisis di masa lalu dengan akomodasi bank sentral yang lebih agresif dan lebih maksimal, baik publik maupun swasta. Pertanyaan sebenarnya adalah: Apakah ini lingkaran malapetaka? Apakah itu terus berjalan sampai terpaksa berhenti?," kata mantan Gubernur Bank Sentral India Raghuram Rajan, dilansir Bloomberg, Rabu (6/1/2021).

Ketimpangan juga meningkat, baik di dalam maupun di seluruh negara karena pandemi telah menyerang penduduk miskin dengan sangat parah. Di AS, orang kulit hitam dan Hispanik secara proporsional menderita lebih banyak kematian daripada orang kulit putih, sementara pekerja berupah rendah di industri seperti rekreasi dan perhotelan telah menanggung beban paling berat dari pemecatan karena mereka yang lebih kaya terus bekerja dari rumah.

"Pandemi telah mengungkap dalamnya ketidaksetaraan dan dalam banyak hal telah memperburuk ketimpangan tersebut,” kata Joseph Stiglitz, ekonom pemenang Hadiah Nobel.

Sementara negara-negara kaya seperti AS telah meredam pukulan kepada warganya dengan bantuan pemerintah dalam jumlah besar, negara-negara yang lebih miskin tidak dapat melakukannya. Stiglitz, yang juga profesor di Universitas Columbia, mengatakan 46 negara paling tidak berkembang di dunia menyumbang hanya 0,002 persen dari US$12,7 triliun pengeluaran stimulus publik yang ditetapkan dalam perang melawan virus.

"Dalam banyak hal, kita dapat melihat setelah pandemi ini sebuah dekade kemajuan yang tidak terbendung dalam mengurangi ketidaksetaraan global, tentu saja bagi negara-negara termiskin," kata profesor Universitas Harvard dan mantan kepala ekonom Dana Moneter Internasional Kenneth Rogoff.

Namun, tidak semua mengenai pandemi merupakan berita buruk. Kecepatan pengembangan vaksin dan pertumbuhan pesat layanan kesehatan jarak jauh adalah perkembangan yang patut diapresiasi. Ekonom Nicholas Bloom dari Universitas Stanford juga menyebutkan tentang potensi peningkatan produktivitas dari tren bekerja di rumah.

Bahkan sebelum pandemi, AS, China, dan banyak negara lain mengalami peningkatan ketimpangan dan peningkatan utang. Ketika krisis virus corona mereda, hal itu dapat menjadi masalah bagi ekonomi global.

Banyak rumah tangga berpenghasilan rendah di AS, misalnya, memiliki banyak utang dan terjepit karena moratorium sementara pembayaran KPR dan sewa berakhir.

Rajan mengatakan bisnis kecil juga bisa menderita setelah banyak yang tetap bertahan di AS karena Program Perlindungan Gaji dan upaya pemerintah lainnya.

"Ada gelombang besar potensi kebangkrutan," katanya.

Masalahnya bahkan lebih parah untuk beberapa negara pasar berkembang dan miskin. Sedangkan AS dan negara-negara kaya lainnya juga harus mengambil upaya menekan utang pemerintah yang melonjak setelah krisis virus corona berlalu.

Defisit anggaran AS akan mencapai US$2,3 triliun pada tahun fiskal yang berakhir pada 30 September 2020, setara dengan lebih dari 10 persen dari produk domestik bruto, menyusul kekurangan US$3,1 triliun pada tahun fiskal 2020.

"Saat kita melalui pandemi, kita perlu mengatur kondisi fiskal kita. Kita akan perlu menurunkan beban utang terutama agar kita berada dalam posisi untuk menghadapi krisis berikutnya, pandemi, atau apa pun ketika itu datang," kata mantan kepala ekonom Gedung Putih Christina Romer.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Reni Lestari
Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper