Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penerapan Tarif Royalti untuk Batu Bara Ekspor Diusulkan Berjenjang

Usulan penerapan royalti tersebut masih dalam pembahasan dan pihaknya terbuka terhadap masukan dari berbagai pihak.
Kegiatan pertambangan batu bara di wilayah operasional PT Adaro Energy Tbk./adaro.com
Kegiatan pertambangan batu bara di wilayah operasional PT Adaro Energy Tbk./adaro.com

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengusulkan penerapan tarif royalti berjenjang terhadap komoditas batu bara yang diekspor ke luar negeri.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan bahwa usulan tersebut terkait dengan rancangan peraturan pemerintah mengenai perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang sedang dibahas oleh Kementerian Keuangan.

Pihaknya, kata Ridwan, mengusulkan agar tarif royalti batu bara diterapkan berjenjang mengacu pada harga batu bara acuan (HBA).

"Kementerian ESDM mengusulkan royalti berjenjang tergantung dengan harga batu bara. Saat ini, semangat berjenjang ini sudah dapat dipahami. Namun, kami masih membahas angka perjenjangannya itu," ujar Ridwan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Kamis (10/12/2020).

Dia menegaskan bahwa usulan penerapan royalti tersebut masih dalam pembahasan dan pihaknya terbuka terhadap masukan dari berbagai pihak.

Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Kementerian ESDM Sujatmiko menambahkan bahwa dalam pembahasan RPP tersebut awalnya Badan Kebijakan Fiskal mengusulkan supaya tarif royalti batu bara berlaku flat sebesar 24 persen. Namun, untuk mempertimbangkan keberlangsungan perusahaan tambang, Kementerian ESDM mengusulkan penerapan tarif royalti berjenjang.

Tarif royalti berjenjang tersebut memperhitungkan rata-rata HBA dalam 10 tahun terakhir dan tingkat HBA dalam 20 tahun ke depan.

"Kami juga minta pendapat ahli yang dari hari ke hari menganalisis harga sehingga pentahapan tingkat royalti sesuai HBA ini dapat menjamin terjadinya penerimaan negara sebagaimana Pasal 169 A Undang-Undang No 3 Tahun 2020 dan mempertahankan tingkat keekonomian perusahaan supaya bisa sustain beroperasi," kata Sujatmiko.

Usulan tarif royalti berjenjang ini mempertimbangkan adanya potensi pengurangan penerimaan negara akibat berlakunya UU Cipta Kerja yang memasukan batu bara sebagai barang kena pajak (BKP).

Sujatmiko menjelaskan bahwa konsekuensi dari batu bara sebagai BKP membuat pajak pertambahan nilai yang selama ini ditanggung perusahaan dapat direstitusi kepada negara. Adanya restitusi ini menyebabkan penerimaan negara bisa berkurang.

Oleh karena itu, pengurangan penerimaan negara akibat restitusi ini dikompensasi dengan adanya penyesuaian besaran royalti.

"Sebelum ada aturan batu bara sebagai BKP, kami dengan Kementerian Keuangan membuat RPP Perpajakan. Saat itu, 15 persen untuk PNBP dengan penerimaan negara sekitar 13 persen peningkatannya dibandingkan saat jadi PKP2B. Nah, karena ada penerimaan negara yang berkurang akibat restitusi ini, maka PNBP kami adjust. Perkiraan peningkatan penerimaan negaranya berkisar 5—7 persen dibandingkan saat jadi PKP2B [perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara] dengan batu bara non-BKP," katanya.

Penyesuaian royalti dilakukan agar sesuai dengan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara yang mengamanahkan perpanjangan izin usaha pertambangan khusus wajib meningkatkan penerimaan negara.

"Nah, agar penerimaan negara naik, tetapi perusahaan masih punya ruang untuk beroperasi, maka mempertimbangkan HBA tidak flat seperti yang diusulkan BKF," imbuhnya.

Sementara itu, untuk penjualan dalam negeri telah disepakati dengan BKF bahwa tarif royalti batu bara ditetapkan flat sebesar 14 persen.

"Kalau dalam negeri 14 persen. Kalau royalti yang ekspor nanti tergantung kesepakatan BKF untuk perjenjangannya," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Zufrizal
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper