Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Pengolahan Berisiko Tak Lagi Sumbang PDB, Ini Alasannya

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyebutkan alasan penurunan kontribusi industri pengolahan terhadap ekspor dan produk domestik bruto (PDB) nasional.
Sejumlah truk membawa muatan peti kemas di Terminal 3 Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/2/2020)./ ANTARA - M Risyal Hidayat
Sejumlah truk membawa muatan peti kemas di Terminal 3 Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/2/2020)./ ANTARA - M Risyal Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Kontribusi industri pengolahan terhadap ekspor dan produk domestik bruto (PDB) nasional bisa tergerus dalam jangka menengah dan panjang jika iklim usaha dan investasi tidak segera dibenahi.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani mengatakan pertumbuhan industri manufaktur akan sangat bergantung pada implementasi reformasi kebijakan dan birokrasi secara signifikan guna membenahi inefisiensi yang saat ini dihadapi.

Upaya dalam membenahi rantai pasok yang tidak berkesinambungan saat ini dia sebut perlu dilakukan agar pelaku usaha bisa lebih agresif dalam melakukan penetrasi pasar ekspor yang semakin kompetitif.

“Dari segi kontribusi terhadap PDB, produktivitas dan kontribusi sektor manufaktur dari tahun ke tahun memang mengalami penurunan, sehingga dalam jangka menengah panjang kemungkinan industri pengolahan tidak lagi menjadi sektor nomor satu penyumbang PDB apabila Indonesia tidak memperbaiki iklim usaha dan investasi secara serius, konsisten dan signifikan,” kata Shinta, Jumat (4/12/2020).

Dia mencatat untuk saat ini terdapat sejumlah kendala yang dihadapi industri pengolahan, penyumbang ekspor terbesar nonmigas Indonesia. Pertama, ekosistem usaha di dalam negeri cenderung tidak efisien. Hal ini tecermin dari biaya tenaga kerja, energi, lending rate, rasio investasi kapital/modal (ICOR) yang kalah dibandingkan negara manufaktur Asean lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina.

“Dengan sendirinya ini menurunkan tingkat daya saing produk ekspor pengolahan nasional dari segi pricing dan menurunkan minat investasi untuk perluasan skala ekonomi,” jelasnya.

Kedua, kendala ekosistem yang mendukung inovasi produk bernilai tambah. Shinta mengatakan kebanyakan inovasi produk di industri manufaktur tidak dilakukan oleh pelaku nasional karena berbiaya tinggi. Sementara itu, pelaku asing cenderung enggan karena melihat perlindungan hak cipta yang rendah sehingga berpotensi menurunkan tingkat keuntungan.

Ketiga, terdapat pula kendala pengenalan pasar dan strategi penetrasi pasar di tengah makin beragamnya permintaan pasar.

“Bila Indonesia tidak bisa menjawab perubahan demand tersebut dengan inovasi di sektor manufaktur bernilai tambah, tentu saja semakin lama yang bisa diekspor Indonesia hanya raw material, bukan produk manufakturnya,” tuturnya.

Adapun kendala keempat mencakup mismatch rantai pasok domestik yang mengakibatkan ketergantungan tinggi pada bahan baku dan bahan penolong impor di sektor manufaktur. Oleh karena itu, daya saing produk sektor pengolahan pun dipengaruhi oleh fluktuasi valuasi mata uang dan harga komoditas global.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper