Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kenaikan Pungutan Ekspor CPO Segera Berlaku, Kapan?

Sejak Juni, pemerintah telah mengenakan pungutan ekspor sebesar US$55 per ton terlepas dari berapapun harga CPO.
Petani membawa kelapa sawit hasil panen harian di perkebunan milik PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk, di kawasan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Rabu (11/5). Bisnis/Nurul Hidayat
Petani membawa kelapa sawit hasil panen harian di perkebunan milik PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk, di kawasan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Rabu (11/5). Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) Indonesia Eddy Abdurrachman memastikan kenaikan pungutan ekspor untuk minyak sawit (CPO) masuk dalam salah satu opsi yang akan diambil pemerintah untuk menyiasati tantangan pendanaan program mandatori biodiesel pada 2021.

“Mengingat dinamika harga minyak sawit yang cenderung terus meningkat, sedangkan harga minyak solar relatif stagnan yang menyebabkan selisihnya semakin lebar, kebutuhan dananya juga semakin besar. Untuk itu perlu kebijakan untuk mengatasinya, antara lain menaikkan tarif pungutan ekspor,” kata Eddy saat dihubungi, Kamis (3/12/2020).

Eddy mengemukakan kenaikan pungutan ekspor sangat mungkin dilakukan karena harga CPO terus meningkat.

Dengan demikian, kenaikan pungutan ekspor dipastikan tetap akan memberi margin keuntungan bagi eksportir dan tidak terlalu memengaruhi harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani. Sebagaimana diketahui, kenaikan pungutan ekspor acap kali menekan harga TBS. 

Saat ditanya lebih lanjut berapa kenaikan yang sejauh ini sudah dicanangkan pemerintah dan kapan implementasinya, Eddy mengatakan bahwa regulasi baru akan diumumkan dalam waktu dekat. Dia enggan berkomentar soal besaran pungutan yang akan diberlakukan.

“Dalam waktu dekat insyaAllah akan segera diumumkan kebijakan tentang kenaikan tarif pungutan ekspor, ditunggu saja,” kata Eddy.

Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bustanul Arifin mengatakan Indonesia setidaknya perlu memberlakukan pungutan ekspor progresif untuk CPO atau membuat perusahaan sawit berkontribusi pada subsidi.

Hal tersebut perlu dilakukan demi keberlanjutan program B30 yang memainkan peran sebagai stabilisator permintaan domestik dan harga.

Bustanul mengemukakan bahwa BPDPKS bisa menderita defisit Rp12,2 triliun pada 2021 untuk membiayai program-program sawit. 

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengestimasi pendapatan dari pungutan ekspor pada 2021 mencapai Rp43,15 triliun jika pungutan ekspor tidak dinaikkan. Sebaliknya, kebutuhan pendanaan untuk B30 bisa mencapai Rp55,35 triliun seiring melebarnya selisih harga biodiesel dan solar.

Adapun sejak Juni, pemerintah telah mengenakan pungutan ekspor sebesar US$55 per ton terlepas dari berapapun harga CPO.

Kurangnya dana disebut Bustanul bisa mengancam keberlangsungan peremajaan kebun sawit swadaya mengingat pungutan ekspor tidak hanya dipakai untuk insentif B30 namun juga untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Tanpa adanya dukungan pendanaan ini, produktivitas bisa menurun.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengemukakan bahwa sejauh ini pemerintah memang belum mengumumkan kebijakan terbaru soal pungutan ekspor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper