Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Gula di Indonesia Mahal, Ini Alasannya

Harga gula Indonesia dinilai tergolong mahal sebagai salah satu bahan pangan masyarakat.
Pekerja menyiapkan gula pasir untuk disalurkan ke operasi pasar dan penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Gudang Perum Bulog Sub-Divisi Regional Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Jumat (3/4/2020). ANTARA
Pekerja menyiapkan gula pasir untuk disalurkan ke operasi pasar dan penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Gudang Perum Bulog Sub-Divisi Regional Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Jumat (3/4/2020). ANTARA

Bisnis.com, JAKARTA - Implementasi hambatan non-tarif atau non-tariff measures (NTM) di tata niaga gula dinilai menjadi salah satu kontributor pada tingginya harga gula di dalam negeri.

Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, sebagai salah satu komoditas pokok, produksi gula oleh petani tebu dalam negeri belum mampu untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Namun pada saat yang bersamaan, impor gula juga diatur secara ketat dengan berbagai ketentuan. Berdasarkan data UNCTAD 2020, terdapat 55 NTM mulai dari pemeriksaan pra-pengapalan, tindakan pengendalian kuantitas dan harga, tindakan sanitasi dan fitosanitasi, serta hambatan teknis perdagangan untuk gula.  

Felippa mengatakan, meski industri gula dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, impor gula di Indonesia diatur secara ketat. Impor gula diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Ketentuan Impor Gula.

“Dalam regulasi tersebut, Kementerian Perdagangan mengizinkan impor gula hanya untuk memenuhi kebutuhan industri, memenuhi stok gula nasional dan menstabilkan harga,” ujarnya seperti dikutip dari siaran persnya, Jumat (28/11/2020).  

Dia melanjutkan, negara mengizinkan sektor swasta untuk mengimpor gula, tetapi hanya gula mentah dan rafinasi untuk keperluan industri dan pemurnian. Impor gula putih untuk konsumsi rumah tangga merupakan urusan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Meskipun ketentuan tersebut memungkinkan lebih banyak partisipasi sektor swasta, ketentuan tersebut juga menetapkan prosedur yang panjang untuk mendapatkan izin impor.

Untuk itu, importir harus mendapat rekomendasi dari tiga menteri yang berbeda, yang akan diberikan setelah rapat koordinasi antar kementerian. Rapat tersebut juga akan memutuskan jumlah gula yang diimpor tahun itu, yang secara efektif akan dikenakan pembatasan impor kuantitatif.

Berdasarkan catatannya, produksi gula domestik tidak pernah berhasil memenuhi kebutuhan gula di Tanah Air.

Pasalnya kebutuhan gula konsumsi dalam negeri terus bertambah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Dari tahun 2018 hingga tahun 2020, jumlah populasi di Indonesia meningkat sebesar 2,28 persen atau sekitar 6,051 juta penduduk.

Pada periode yang sama, total konsumsi gula juga meningkat sebesar 95.000 ton dari 12,6 kilogram per kapita per tahun menjadi 13 kilogram per kapita per tahun, menjadi total 7,18 juta ton.

“Hal ini menunjukkan betapa wajarnya muncul prediksi kebutuhan gula kedepannya juga akan terus meningkat," lanjutnya.

Pada saat yang bersamaan, menurutnya, produktivitas gula Tanah Air belum mengalami kenaikan yang signifikan. Kementerian Pertanian mencatat bahwa di tahun 2014, produktivitas GKP dari tebu sebesar 5.406 kg/hektar hingga menghasilkan total 2,58 juta ton, sempat turun hingga titik terendah di tahun 2017 menjadi hanya 4.985 kg/hektar. Di tahun 2018, BPS mencatat produktivitas mulai sedikit naik menjadi 5.225 kg/hektar, menghasilkan 2,17 juta ton pada tahun 2018 yang masih jauh dibanding konsumsi.

“Menanggapi rendahnya produktivitas, pertanyaan berikutnya adalah terkait upaya yang sudah dan sedang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah memiliki program revitalisasi, baik on farm, seperti penyediaan bibit unggul, pelatihan teknik bercocok tanam yang benar dan off farm, seperti pemberian dana bantuan pembelian maupun perbaikan mesin giling dan pembangunan pabrik gula baru. Namun program ini belum mampu menyelesaikan permasalahan gula kita,” jelasnya.

Merespon argumen bahwa program revitalisasi bukanlah program instan, Felippa mengatakan pemerintah dapat memanfaatkan perdagangan internasional sebagai cara untuk memenuhi kekurangan persediaan gula dan menjaga kestabilan harganya di Tanah Air.

Namun sayangnya, harga yang disebut stabil belum tentu terjangkau bagi masyarakat luas. Mekanisme impor yang masih terbatas tidak cukup mampu menekan harga gula di tingkat konsumen.

Berdasarkan perbandingan data PIHPS dan Bank Dunia, harga gula nasional lebih mahal 217 persenjika dibandingkan dengan harga gula internasional.

Bukan tidak mungkin gula impor yang masuk ke pasar konsumsi memiliki perbedaan harga yang kecil dengan harga gula domestik. Kondisi ini membuktikan bahwa implementasi hambatan non-tarif malah tidak mampu menekan harga di pasar.

 “Kalau kondisi tingginya harga gula dan defisit persediaan gula ini dibiarkan, wajar jika terjadi masalah rembesan gula rafinasi yang akan berdampak, tidak hanya di segi ekonomi namun juga kesehatan.  Hal ini terjadi karena pengadaan gula rafinasi melalui mekanisme impor raw sugar memiliki restriksi impor yang lebih sederhana. Hal ini akhirnya juga berdampak pada jumlah gula rafinasi yang beredar dan juga harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga gula konsumsi,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper