Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indonesia Resesi, Industri TPT Minta Stimulus Moneter Lebih Panjang

Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) meminta stimulus moneter lebih panjang agar bisa pulih akibat dampak pandemi Covid-19 dan kondisi resesi Indonesia.
Pekerja perempuan memproduksi alat pelindung diri sebuah perusahaan garmen saat kunjungan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah di Jakarta, Rabu (1/7/2020). /M Risyal Hidayat
Pekerja perempuan memproduksi alat pelindung diri sebuah perusahaan garmen saat kunjungan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah di Jakarta, Rabu (1/7/2020). /M Risyal Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) meminta stimulus moneter lebih panjang agar bisa pulih akibat dampak pandemi Covid-19 dan kondisi resesi Indonesia.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan untuk industri TPT paling tidak membutuhkan waktu hingga akhir tahun depan agar pabrikan dapat memperbaiki kondisi pasca pandemi Covid-19. Untuk itu, sesuai rekomendasi Apindo relaksasi kredit yang lebih panjang sangat diminta.

"Kami sepakat karena OJK hanya memberi waktu hingga Maret 2021 sedangkan industri ini kira-kira butuh waktu sampai akhir 2021," katanya kepada Bisnis, Kamis (22/10/2020).

Redma mengemukakan stimulus bidang moneter lain, yakni pembayaran dengan US$ yang juga dilonggarkan hingga pertengahan 2021. Pasalnya, relaksasi itu diberikan sebelum Covid-19 untuk itu diperlukan waktu peninjauan perpanjangan kembali.

Menurut Redma, saat ini sejumlah transaksi masih dilakukan menggunakan US$ seperti sejumlah komponen bahan baku hingga pembayaran gas.

Sementara itu, dalam mendorong pemulihan yang utama adalah dari sisi pasar. Redma menilai dalam hal ini yang perlu dilakukan pemerintah cukup dengan serius memperkuat permintaan dalam negeri.

"Sementara ada bansos dan tunjangan gaji karyawan di bawah Rp5 juta akan sia-sia jika yang dibelanjakan masyarakat masih produk impor karena tidak ada upaya peminimalisir produk impor sampai saat ini," ujar Redma.

Untuk itu, paling penting Redma menegaskan pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan seharusnya mulai mengubah pola pikir yakni bukan hanya dengan membuka perdagangan bebas tetapi lebih mengutamakan penguatan pasar dalam negeri. Selain itu juga pencabutan Permendag Nomor 77/2019 tentang impor TPT.

Hal itu, lanjut Redma, sebaiknya juga diperkuat dengan perbaikan kinerja Bea Cukai agar hal-hal usang seperti impor borongan, dan sejenisnya tidak terjadi lagi.

"Dulu sebelum ada Asean-China kita masih positif US$500 juta sekarang sudah negatif US$18 miliar, ini logikanya bagaimana? karena upaya memperkuat pasar dalam negeri sendiri tidak ada jadi hanya membuka-buka yang ada kebocoran di mana-mana," kata Redma.

Redma pun mengemukakan seharusnya utilisasi industri hulu bisa berada di kisaran 70-75 persen pada awal kuartal IV/2020. Namun demikian, rata-rata pabrikan memiliki utilisasi hanya di kisaran 50 persen.

Indonesia dipastikan akan mengalami resesi setelah di kuartal III/2020 diprediksi pertumbuhannya negatif, setelah terkontraksi pada kuartal II/2020 sebesar 5,32 persen.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan bahwa lesunya perekonomian yang terjadi di Indonesia harus dihadapi. “Resesi jangan disia-siakan. Resesi harus dimanfaatan,” katanya melalui diskusi virtual, Senin (12/10/2020).

DIPERPANJANG

Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memutuskan untuk memperpanjang kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit selama setahun untuk membantu mendorong pemulihan ekonomi. Hal itu dilakukan setelah memperhatikan asesmen terakhir OJK terkait debitur restrukturisasi sejak diputuskannya rencana memperpanjang relaksasi ini pada saat Rapat Dewan Komisioner OJK pada 23 September 2020.

"Perpanjangan restrukturisasi ini sebagai langkah antisipasi untuk menyangga terjadinya penurunan kualitas debitur restrukturisasi. Namun kebijakan perpanjangan restrukturisasi diberikan secara selektif berdasarkan asesmen bank untuk menghindari moral hazard agar debitur tetap mau dan mampu melakukan kegiatan ekonomi dengan beradaptasi di tengah masa pandemi ini," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam pernyataan yang dikutip Antara, Jumat (22/10/2020).

OJK segera memfinalisasi kebijakan perpanjangan restrukturisasi ini dalam bentuk POJK, termasuk memperpanjang beberapa stimulus lanjutan yang terkait antara lain pengecualian perhitungan aset berkualitas rendah (loan at risk) dalam penilaian tingkat kesehatan bank, governance persetujuan kredit restrukturisasi, penyesuaian pemenuhan capital conservation buffer dan penilaian kualitas Agunan yang Diambil Alih (AYDA) serta penundaan implementasi Basel III.

Realisasi restrukturisasi kredit sektor perbankan per 28 September 2020 sebesar Rp904,3 triliun untuk 7,5 juta debitur. Sementara, NPL pada September 2020 sebesar 3,15 persen menurun dari bulan sebelumnya sebesar 3,22 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Fatkhul Maskur
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper