Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kontroversi UU Cipta Kerja: Ini Kronologis Pesangon Turun dari 32 Kali Gaji jadi 25 Kali Gaji

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Rosan Perkasa Roeslani angkat bicara soal turunnya pesangon pekerja dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja. Dia menyampaikan kronologis turunnya jumlah pesangon kepada Ketua MPR RI Bambang Soesatyo.
Tangkapan layar wawancara Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Ketua KADIN Rosan Roeslani soal Omnibus Law UU Cipta Kerja / Youtube: Bambang Soesatyo
Tangkapan layar wawancara Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Ketua KADIN Rosan Roeslani soal Omnibus Law UU Cipta Kerja / Youtube: Bambang Soesatyo

Bisnis.com, JAKARTA – Masalah besaran pesangon yang terdapat dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja masih menjadi sorotan publik meskipun beleid tersebut sudah disahkannya Senin (5/10/2020) lalu.

Pasalnya, jumlah pesagon sebesar 32 kali gaji yang tertuang dalam UU 13/2020 diturunkan menjadi 19 kali ditambah 6 kali dalam program lainnya, yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Rosan Perkasa Roeslani angkat bicara soal turunnya pesangon pekerja dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja. Dia menyampaikan kronologis turunnya jumlah pesangon kepada Ketua MPR RI Bambang Soesatyo.

“Itu benar [besaran pesangon], itu salah satu keberatan mereka. Realisasinya hanya 7 persen itu yang pertama [UU No13/2003]. Kedua, dari 32 kali turun pun ke 25 kali, itu masih yang tertinggi di seluruh ASEAN,” kata Rosan dalam video yang diunggah channel Youtube Bambang Soesatyo seperti dikutip Bisnis, Jum’at (16/10/2020).

Dia menuturkan dengan turunnya pesangon menjadi 25 kali, maka para pengusaha harus menanggung sebanyak 19 kali dari total pesangon.

Meski turun menjadi 25 kali gaji, Ketua Satgas Omnibus Law itu jumlah pesangon yang diberikan kepada pekerja di Indonesia masih tertinggi di seluruh ASEAN.

Sayangnya, dia tidak memaparkan berapa jumlah pesangon berlaku di negara-negara lain, seperti Thailand, Vietnam, atau Filipina.

Dengan adanya UU Cipta Kerja, Rosan mengatakan sanksi yang diterima para pengusaha akan semakin berat apabila tidak bisa memenuhi pesangon sebanyak 19 kali kepada pekerja.

“Itu ancamannya lebih berat, dulu kan nggak ada [di UU Ketenagakerjaan Nomor 13] sekarang ada,” ujarnya.

Dia mengaku telah mengajak konfederasi serikat pekerja pun dalam pembahasan Omnibus Law UU Cipta Kerja tersebut. Rosan juga mengungkapkan pembahasan Omnibus Law dilakukan setiap hari yang hampir menyita waktu 3 minggu dalam pertemuan.

Masing-masing serikat pekerja menunjuk 15 orang wakil buruh. Sementara itu, KADIN mengirim 15 orang. Para perwakilan bertemu setiap hari mulai pukul 09.00 wib hingga 21.00 wib selama 3 minggu.

Rosan menuturkan saat pembahasan Omnibus Law, dua dari enam konfederasi besar menyatakan walk out karena tetap ingin berada di UU Ketenagakerja Nomor 13. Konfederasi tersebut, yaitu Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).

“Dari Mas Iqbal [KSPI] dan Mas Andi Gani [KSPSI], mereka walk out. Mereka tetap mau mengacu ke UU 13/2003 tanpa ada perubahan,” tuturnya.

Sementara itu, Rosan mengatakan empat konfederasi lain meneruskan dengan ada yang merespon sepakat, sepakat dengan catatan, bahkan sampai tidak sepakat.

“Kerangkanya itu dibuat oleh setiap kementerian, masuk ke kantor Menko Perekonomian kemudian kita memberikan masukan agar implementasi di lapangannya menjadi lebih smooth dan lebih baik,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper