Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

IMF Pangkas Proyeksi Ekonomi Indonesia Jadi Minus 1,5 Persen di 2020, Ini Alasannya

IMF memangkas proyeksi ekonomi Indonesia menjadi minus 1,5 persen dari sebelumnya minus 0,3 persen melihat kondisi negara ini yang masih berjuang keras menekan angka infeksi Covid-19.
Logo The International Monetary Fund (IMF)./Reuters
Logo The International Monetary Fund (IMF)./Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia dari minus 0,3 persen menjadi minus 1,5 persen pada tahun ini.

"Hampir seluruh negara berkembang diperkirakan mencatat kontraksi ekonomi tahun ini. Sementara itu, negara seperti India dan Indonesia tengah berjuang untuk membuat pandemi lebih terkendali," tulis laporan IMF yang berjudul A Long and Difficult Ascent tersebut, Selasa malam (14/10/2020).

Adapun, IMF memberikan revisi pertumbuhan lebih dalam bagi India, melihat dampak dari pandemi yang parah di negara tersebut.

Di bidang fiskal, IMF juga menegaskan proyeksinya konsisten dengan penurunan bertahap dari stimulus fiskal yang besar pada tahun 2020, termasuk mengembalikan defisit fiskal menjadi di bawah 3 persen dari PDB pada tahun 2023.

Di bidang moneter, IMF menilai asumsi kebijakan moneter sejalan dengan pemeliharaan inflasi dalam rentang target bank sentral.

Tahun depan, IMF memperkirakan pertumbuhan Indonesia akan meningkat hingga 6,1 persen. Kemudian, pada 2025, Indonesia diproyeksikan hanya akan tumbuh 5,1 persen. Defisit transaksi berjalan Indonesia diperkirakan hanya akan mencapai 1,3 persen pada tahun ini dan meningkat tahun depan menjadi 2,4 persen terhadap PDB sejalan dengan pemulihan ekonomi.

Kepala Ekonom IMF Gita Gopinath menuturkan krisis ini masih jauh dari selesai. Dia melihat tingkat lapangan kerja masih jauh dari posisi sebelum pandemi dan pasar tenaga kerja menjadi lebih terpolarisasi dengan pekerja berpenghasilan rendah, kaum muda dan wanita yang paling terpukul.

IMF memperkirakan 90 juta orang akan jatuh dalam kekurangan ekstrim.

"Ini adalah krisis terburuk sejak Depresi Hebat, dan diperlukan inovasi yang signifikan di bidang kebijakan, baik di tingkat nasional maupun internasional untuk pulih dari bencana ini," ujar Gita dalam blog-nya.

Gita mengingatkan krisis ini kemungkinan besar akan meninggalkan bekas luka dalam jangka menengah karena pasar tenaga kerja membutuhkan waktu untuk pulih, investasi terhambat oleh ketidakpastian dan masalah neraca, dan kehilangan waktu belajar di sekolah merusak modal dari sumber daya manusia.

"Setelah rebound pada 2021, pertumbuhan global diperkirakan akan melambat secara bertahap menjadi sekitar 3,5 persen dalam jangka menengah," kata Gita.

Dia menghitung kerugian kumulatif dari output diproyeksikan tumbuh dari Rp11 triliun selama 2020–2021 menjadi Rp28 triliun selama 2020–2025.

Ini menunjukkan kemunduran yang parah terhadap peningkatan standar hidup rata-rata di semua kelompok negara, ungkap Gita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Hadijah Alaydrus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper