Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengapa Pengusaha Smelter Sulit Jalankan Aturan Harga Patokan Nikel?

Pengusaha smelter menginginkan agar kenaikan harga beli nikel dilakukan secara bertahap.
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia sekaligus CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park Alexander Barus mengungkapkan tantangan pengusaha smelter nikel dalam menjalankan kebijakan harga patokan mineral nikel.

Dia mengatakan bahwa para pengusaha tidak menolak diberlakukannya aturan harga patokan mineral (HPM) nikel. Hanya saja, pengusaha smelter menginginkan agar kenaikan harga beli nikel dilakukan secara bertahap.

"Kami bukannya tidak setuju, tidak menolak HPM, tapi kami hanya katakan berilah kami napas sehingga kenaikan itu tidak sekaligus US$10 per ton. Mungkin US$2—US$5 dulu," ujarnya dalam sebuah webinar, Selasa (13/10/2020).

Hal ini dikarenakan selain menghadapi kenaikan beban pembelian bijih nikel, pengusaha smelter juga tengah menghadapi beban pungutan antidumping ekspor produk nikel yang diterapkan di sejumlah negara.

"Stainless steel kita di China kena antidumping 20,2 persen. Di IMIP [PT Indonesia Morowali Industrial Park] ini sangat integrated, dari ore sampai ke tanur itu semua cair, tidak ada remelting proses sehingga ongkos produksi bisa di bawah dunia. Eropa akan kenakan 17,4 persen antidumping, Amerika sudah 25 persen, Malaysia, dan India proses inisiasi," katanya.

Sementara itu, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif mengatakan bahwa biaya produksi bijih nikel di Indonesia terbilang rendah, yakni rata-rata berkisar antara US$20,09 per ton hingga US$22,56 per ton.

Sementara itu, biaya produksi feronikel di Indonesia dengan teknologi RKEF berada pada kisaran US$8.052 per ton Ni. Biaya ini sudah termasuk biaya peleburan, pembelian bijih, hingga biaya pengiriman.

Biaya produksi feronikel Indonesia itu masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan produksi feronikel di China dengan teknologi yang sama, yakni US$12.341 per ton Ni.

"Perbedaannya cukup banyak. Jadi, kalau, misalnya, ada yang mengeluh beli bijih nikel kemudian produk smelternya itu masih kurang profit, saya kira data ini bisa membuktikan keuntungan mereka sudah cukup sehingga harus berbagi dengan mereka yang di tambang dan mengoptimasikan semua proses yang terjadi," kata Irwandy.

Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2020 tentang perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Mineral Logam dan Harga Patokan Batubara, jual beli nikel diwajibkan mengacu kepada harga harga ptokan mineral.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Zufrizal

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper