Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

ThorCon Kritik Sejumlah Pasal dalam Draf RUU EBT

Draf RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT) juga belum menyebutkan nuklir sebagai bagian dari transisi energi.
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Bushehr di Iran, sekitar 1.200 kilometer sebelah selatan Teheran./Reuters
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Bushehr di Iran, sekitar 1.200 kilometer sebelah selatan Teheran./Reuters

Bisnis.com, JAKARTA — Pengembang pembangkit listrik tenaga nuklir, ThorCon International Pte. Ltd., mengkritik sejumlah ketentuan dalam draf Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan karena berpotensi memundurkan sektor ketenaganukliran di Indonesia.

Bob S. Effendi, Kepala Perwakilan ThorCon International, menilai salah satu pasal dalam draf RUU EBT, yakni Pasal 7 ayat (3), berpotensi menutup peluang partisipasi swasta dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Pasal tersebut menyebutkan pembangunan, pengoperasian, dan decommissioning PLTN dilaksanakan oleh badan usaha milik negara khusus.

“Dengan adanya hanya BUMN khusus yang dapat membangun PLTN, tidak sejalan dengan semangat RUU Cipta Kerja dan keinginan pemerintah dan DPR untuk membuka investasi swasta pada seluruh sektor," kata Bob dalam rapat dengar pendapat umum di Komisi VII DPR RI, Kamis (1/10/2020).

Thorcon juga menilai Pasal 7 ayat (5) RUU EBT yang mengatur bahwa pembangunan PLTN ditetapkan oleh pemerintah pusat setelah mendapat persetujuan DPR, berpotensi menjadikan nuklir dipolitisasi.  

Hal ini bertentangan dengan ketentuan dalam UU Ketenaganukliran Pasal 13 ayat (4) yang mengatur bahwa pembangunan reaktor nuklir komersial yang berupa PLTN ditetapkan oleh pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR.

Selain itu, kata Bob, draf RUU EBT juga belum menyebutkan nuklir sebagai bagian dari transisi energi.  Padahal, menurutnya, PLTN memiliki karakteristik performa yang sesuai untuk menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.  

Karakteristik tersebut antara lain, dapat beroperasi 24 jam tanpa dipengaruhi cuaca dengan kapasitas faktor di atas 70 persen, memiliki keekonomian setara dengan batu bara (US$0,06—US$0,07/kWh), dan dapat mendekati pusat beban atau tidak bergantung lokasi.

Bob menilai RUU EBT seharusnya tidak mengatur secara terperinci terhadap sektor ketenaganukliran karena dikhawatirkan akan bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 1997 dan mengingat saat ini sedang berlangsung proses revisi UU Ketenaganukliran.

"RUU EBT seyogyanya membuka peluang atau pintu bagi nuklir masuk dalam bauran EBT sehingga polemik tentang opsi terakhir bisa berakhir," kata Bob.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Zufrizal

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper