Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Arles Parulian Ompusunggu

Pengurus Ikatan Akuntan Indonesia

Arles Parulian Ompusunggu adalah Pengurus Ikatan Akuntan Indonesia

Lihat artikel saya lainnya

Dilema Defisit APBN, Ditutupi dengan Utang

Perlu digali ekstensifikasi sumber-sumber penerimaan guna menutupi defisit anggaran negara selain penerbitan utang, yaitu dengan menyisir dana lain seperti sisa lebih pembiyaan anggaran (SILPA), dana abadi, dan kerja sama dengan swasta mendanai investasi.
Skenario pemulihan ekonomi selama Pandemi Covid/19 di APBN 2020
Skenario pemulihan ekonomi selama Pandemi Covid/19 di APBN 2020

Revisi APBN tahun 2020 yang kedua melalui Perpres No. 72 tahun 2020 membuka ruang bagi kemungkinan terjadi defisit hingga 6,34 % dari total produk domestik bruto (PDB) atau diperkirakan Rp1.039 triliun dan akan menjadi beban anggaran selama 10 tahun mendatang.

Meski realisasi defisit hingga akhir Juli tahun anggaran 2020 baru mencapai 2,1% dari PDB atau Rp 330,17 triliun (Kemenkeu 2020), tetap saja hal ini mencemaskan bagi pengelolaan anggaran negara, terutama dalam menutupi kebutuhan penanganan dampak Covid -19.

Bahkan pola pembelanjaan defisit akibat pembengkakaan pengeluaran dalam APBN sebagaimana telah diamanatkan UU No. 2 Tahun 2020 tentang pengesahan Perppu No. 1/2020 akan melewati batas normal sesuai amanah UU No. 17 Tahun 2003 sebesar maksimal 3% yang telah berlaku sejak 10 tahun terakhir masih akan berlangsung secara masif hingga 2022.

Pilihan sulit bagi pemerintah karena defisit APBN 2020 tidak bisa dihindari akibat adanya pola pengeluaran untuk dana talangan dan stimulus ekonomi.

Pembelanjaan defisit APBN muncul ketika belanja negara lebih besar dari penerimaan yang terjadi ketika pos anggaran pengeluaran tidak dapat dipangkas. Kasus yang dihadapi Indonesia saat ini dengan kebijakan stimulus ekonomi, defisit APBN adalah suatu keniscayaan.

Sederhananya terdapat pengeluaran negara yang tidak bisa ditunda untuk penanganan ekses Covid-19 dan tidak bisa diimbangi tren kecukupan penerimaan negara. Alhasil defisit APBN harus dianggarkan dalam perencanan dan penetapan melalui persetujuan DPR.

Terjadinya defisit APBN suatu negara adalah positif sebagaimana pendekatan Ricardian dalam Barro (1989) asalkan ditujukan, pertama untuk mencukupi biaya investasi guna menopang pertumbuhan ekonomi melalui utang luar negeri.

Kedua, untuk memeratakan pendapatan masyarakat melalui mekanisme subsidi ke warga tidak mampu. Ketiga, menutupi peningkatan pengeluaran akibat terjadinya krisis ekonomi. Keempat, akibat mismatch antara realisasi penerimaan negara dan pengeluaran anggaran. Kelima, akibat meningkatnya laju inflasi.

Pengalaman empiris Indonesia sejak 1956 yang menerapkan mekanisme APBN bagi pelaksanaan anggaran dan belanja negara yang seimbang (balanced budget) selalu terjadi mismatch antara penerimaan dan pengeluaran. Namun melalui pembiayaan defisit dari sumber seperti utang, selalu ada upaya menutup defisit dari utang luar negeri. Bahkan sejak lima tahun terakhir muncul orientasi penerbitan surat utang negara di dalam negeri.

Secara teoretis peerkonomian Indonesia akan memasuki masa resesi. Karena itu perlu segera dijalankan kebijakan fiskal dan moneter yang saling mendukung bersamaan penanganan kesehatan masyarakat agar pengeluaran APBN tidak semakin memperlebar defisit pada akhir 2020. Bank Indonesia (BI) harus berupaya menjaga stabilitas kurs rupiah dan tingkat inflasi serta penurunan tingkat bunga kredit supaya sektor riil mulai bergerak dan berproduksi.

Walau pemerintah bersama DPR sudah mematok target indikatif defist APBN akan diusahakan ke maksimum 3% dari PDB di akhir 2023 tetapi prediksi akhir pandemi Covid-19 yang belum bisa diperkirakan mengisyaratkan bahwa pemerintah harus menjalankan effort yang lebih berat di tahun mendatang.

Di satu sisi pemerintah masih berkewajiban menutupi defisit APBN tahun-tahun sebelumnya yang berasal dari pembiayaan utang. Di sisi lain harus mengalokasikan kecukupan dana untuk memenuhi pengeluaran rutin APBN. Alhasil jangan sampai terjadi penambahan defisit yang sebagian besar untuk menutupi pembayaran pokok utang dan bunga.

Kebutuhan dana, baik yang sudah dianggarkan atau karena darurat akibat bencana nonalam seperti saat ini, membuat pemerintah harus berusaha menjaga kesinambungan fiskal selama fenomena extra ordinary ini. Masalahnya tidak mungkin menggenjot penerimaan dari sisi pajak.

Perlu dipikirkan ekstensifikasi sumber-sumber penerimaan guna menutupi defisit anggaran negara selain penerbitan utang, yaitu dengan menyisir dana lain seperti sisa lebih pembiyaan anggaran (SILPA), dana abadi, dan kerja sama dengan swasta mendanai investasi.

Jangan sampai pembiayaan kegiatan produktif yang seharusnya dapat mendorong potensi pertumbuhan ekonomi terhenti karena adanya realokasi anggaran bagi penanggulangan dampak pandemi.

Komposisi sumber pendanaan untuk pembiayaan defisit APBN 2020 dari utang hingga akhir Juli 2020 telah mencapai Rp519,22 triliun. Sebagian di antaranya adalah beban utang komersial jangka panjang, sehingga pembayaran pokok utang dan bunga akan membebani APBN 2021 hingga jatuh tempo.

Karena itu diharapkan pengelolan anggaran negara yang lebih efisien supaya perolehan dana US$2,5 miliar dari penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk Global) dalam denominasi dolar AS di pasar internasional tidak membebani generasi mendatang.

Hampir tidak ada negara yang terbebas dari penerbitan surat utang sebagai konsekuensi melebarnya defisit anggaran dimasa pandemi Covid-19. Pesan pentingnya adalah menjaga stabilitas country risk rating supaya dana investor, baik melalui portofolio pasar modal dan foreign direct investment (FDI), tetap mengalir agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di tahun pemulihan.

Situasi pembengkakan utang dari pelebaran defisit APBN merupakan pilihan dilematis bagi pemerintah dalam mengelola kesinambungan fiskal. Dengan perbandingan jumlah utang terhadap PDB (DSR Ratio) per akhir Juli 2020 sebesar 33,63 % yang akan menyedot anggaran di kisaran Rp630 triliun untuk pembayaran pokok utang dan bunga pada 2020, seharusnya menjadi sinyal keras perlunya kehati-hatian dan efisiensi pengelolaan APBN.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper