Bisnis.com, JAKARTA - Perundingan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) dinilai perlu segera dituntaskan pada akhir 2020 demi memastikan tujuan Asean sebagai salah satu pusat global rantai pasok barang pada 2030 dapat terwujud.
Hal itu diungkapkan Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri, Siswo Pramono dalam salah satu isi seminar bertajuk The Importance of Asean Centrality, yang diadakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Kamis (30/7/2020).
"RCEP harus segera dituntaskan pada akhir tahun ini, itu juga pentingnya negara-negara di Asia Timur harus tetap terbuka dan inklusif," jelasnya saat menyampaikan paparan saat sesi seminar virtual.
Perundingan RCEP pertama kali diluncurkan pada November 2012 saat Temu Puncak Asean di Kamboja. Perundingan berbasis teks telah disepakati oleh negara-negara anggota RCEP, kecuali India, saat Temu Puncak Asia Timur (EAS) di Bangkok, Thailand, pada November 2019.
Perundingan RCEP diikuti oleh 16 negara, yaitu 10 anggota Asean dan enam mitra pasar bebas Asean, yaitu Australia, China, Jepang, Selandia Baru, Korea Selatan, dan India.
Namun, India pada November 2019 memutuskan untuk keluar dari RCEP karena menilai kerja sama itu tidak sejalan dengan kepentingan nasionalnya. Kendati begitu, Indonesia menganggap India tetap masuk dalam perundingan dan menilai negosiasi RCEP masih diikuti oleh 16 negara.
Baca Juga
Siswo meyakini bahwa negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau Asean diyakini akan menjadi salah satu pusat rantai barang dunia (global value chain) pada 2030.
Prediksi itu didasari oleh sejumlah catatan. Salah satunya, jelas dia, tren pemindahan tempat usaha atau relokasi sejumlah pabrik asal Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang dari China ke negara-negara Asean.
Bahkan, beberapa perusahaan China juga memindahkan usahanya dari negaranya ke Asia Tenggara.
"Kami memiliki bukti pelaku usaha dunia merespon Asean dengan positif, salah satunya terlihat dari rencana relokasi industri dari China, itu jadi contoh konkret para pengusaha saat ini berpindah dari China ke Asean. Pertanyaannya, apakah perusahaan itu akan memindahkan usahanya ke Asean jika mereka tidak mendapatkan jaminan [Asean[ akan menjamin kebebasan, netralitas, dan keamanan, yang mereka lihat, konsistensi untuk tetap netral," terang Siswo.