Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri China Pulih, Pasar Baja Lapis Domestik Terancam Dibanjiri Impor

Indonesia Zinc Aluminium Steel Industry (IZASI) mendata utilitas industri baja lapis pada Januari-Februari 2020 masih berada di kisaran 46-49 persen. Namun demikian, angka tersebut anjlok hingga sekitar 21 persen.
Bluescope Indonesia, produsen baja lapis ringan memperkenalkan produknya  saat media gathering. /Bisnis.com-Dinda Wulandari
Bluescope Indonesia, produsen baja lapis ringan memperkenalkan produknya saat media gathering. /Bisnis.com-Dinda Wulandari

Bisnis.com, JAKARTA – Percepatan regulasi untuk menangkal impor dinilai genting oleh industriwan baja lapis. Kewaspadaan tersebut hadir dari penormalan proses produksi baja di Negeri China.

Indonesia Zinc Aluminium Steel Industry (IZASI) mendata utilitas industri baja lapis pada Januari-Februari 2020 masih berada di kisaran 46-49 persen. Namun demikian, angka tersebut anjlok hingga sekitar 21 persen.

Direktur Eksekutif IZASI Maharani Putri meramalkan angka utilitas industri nasional berpotensi tidak bergerak walaupun permintaan domestik diramalkan mulai bergerak pada kuartal III/2020. Pasalnya, pabrikan baja lapis asal China mulai bergerak normal saat ini dan akan kembali menjual produknya di pasar global.

"[China] past sembuh duluan [dari pandemi Covid-19] dan dia stok produksinya juga tinggi. Dia [China] pun sudah kembali normal berproduksi. Jadi, dalam waktu dekat Indonesia jadi negara destinasi [baja lapis] impor [dari] China," katanya kepada Bisnis, Rabu (22/7/2020).

Maharani berujar industri dalam negeri tidak bisa bersaing dengan baja lapis impor dari Negeri Panda. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh adanya tax rebate dari pemerintah China bagi pabrikan yang mengekspor barannya sekitar 13 persen.

Selain itu, industri baja lapis China memiliki kapasitas hingga 6 kali lipat dari kapasitas produksi pabrikan lokal. Dengan kata lain, tingkat efisiensi industri baja lapis lebih tinggiyang membuat harga jual akan lebih rendah.

Dengan demikian, harga baja lapis dari China lebih rendah sekitar 15-29 persen dibandingkan dengan baja lapis lokal. Maharani menghitung selisih harga antaran baja lapis asal Negeri Tirai Bambu dan baja lapis lokal setidaknya mencapai Rp3 juta per ton.

"Biasanya beda [harga antara pabrikan domestik] tipis-tipis. Beda [harga] Rp1 juta saja sudah [maksimal]," ucapnya.

Oleh karena itu, Maharani telah mengusulkan tiga poin kepada pemerintah. Pertama, percepatan keputusan bea masuk anti dumping (BMAD) aja lapis. Adapun, Izasi telah melayangkan petisi kepada Komite Anti Dumping Indonesia sejak kuartal III/2019.

Kedua, percepatan perampungan sistem informasi baja nasional (SIBANA). Seperti diketahui, SIBANA merupakan pusat data mengenai permintaan dan produksi di industri baja nasional.

Menurut Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian periode 2017-2020 Harjanto mengatakan misi utama SIBANA adalah menghilangkan praktik-praktik curang dalam importasi produk baja. Pasalnya, volume permintaan nasional dan kemampuan pabrikan lokal dalam memenuhi permintaan tersebut akan dapat diakses oleh seluruh pihak.

Selain itu, Maharani menilai keberadaan SIBANA akan memperjelas mekanisme pemberian rekomendasi impor bagi importir baja, dalam hal ini baja lapis. "Pemerian rekomendasi ini tentunya menjadi salah satu alat untuk proteksi."

Ketiga, percepatan proses wajib dari SNI baja lapis, baja lapis warna, dan profil baja ringan. Maharani berujar perubahan sifat SNI dari sukarela menjadi wajib dapat menjadi non-tariff measure (NTM) untuk melindungi pabrikan nasional.

Maharani menilai langkah tersebut menjadi penting lantaran pemerintah Indonesia telah membuka banyak pasar terbuka dengan beberapa negara asal impor baja lapis. Menurutnya, saat ini pembahasan perubahan jenis SNI tersebut masih didiskusikan dalam internal Kementerian Perindustrian.

Maharani menyampaikan isu yang sedang didiskusikan dalam peruahan jenis SNI tersebut masih berputar dalam kesiapan industri kecil dan menegah (IKM) baja dalam mengikuti SNI tersebut. Maharani menilai pertanyaan terseut tidak sesuai.

Menurutnya, industri baja nasional tidak memiliki pabrikand dengan kapasitas IKM. Pasalnya, industri baja merupakan industri padat modal, sedangkan IKM notabenenya merupakan industri padat karya.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper