Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pajak Digital: Donald Trump Meradang, Sri Mulyani Tak Peduli

Sri Mulyani memberikan sinyal kuat bahwa Kementerian Keuangan siap untuk memperjuangkan pengenaan pajak digital. Setelah merilis aturan PPN bagi PMSE, Kementerian Keuangan mengincar target selanjutnya, yakni pengenaan PPh terhadap perusahaan digital.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjawab pertanyaan wartawan usai melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan di Kantor DJP, Jakarta, Selasa (10/3/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjawab pertanyaan wartawan usai melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan di Kantor DJP, Jakarta, Selasa (10/3/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Ungkapan ini cocok diarahkan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Mantan petinggi Bank Dunia ini tampaknya akan terus menerjang apapun kendala yang ditemui untuk menerapkan pajak digital di Indonesia.

Alih-alih berjalan santai, Sri Mulyani memilih tancap gas. Kementerian Keuangan yang dipimpinnya telah mengumumkan enam perusahaan global yang wajib memungut pajak PPN atas layanannya.

Keenam perusahaan tersebut adalah Amazon Web Services Inc., Google Asia Pacific Pte. Ltd., Google Ireland Ltd., Google LLC, Netflix International B.V., dan Spotify AB.

Dengan penunjukan ini, maka produk dan layanan digital yang dijual oleh keenam pelaku usaha tersebut akan dipungut pajak pertambahan nilai (PPN) mulai 1 Agustus 2020.

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama mengungkapkan Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menganggap enam perusahaan global itu memenuhi kriteria sebagai pemungut PPN atas barang dan jasa digital yang dijual kepada pelanggan di Indonesia.

“Jumlah PPN yang harus dibayar pembeli adalah 10% dari harga sebelum pajak dan harus dicantumkan pada resi atau kuitansi yang diterbitkan penjual sebagai bukti pungut PPN,” kata Yoga, Selasa (7/7).

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak No.PER - 12/PJ/2020 yang terkait dengan teknis PPN tersebut, telah ditetapkan penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) yang memiliki nilai transaksi lebih dari Rp600 juta dan jumlah trafik sebanyak 12.000 dalam setahun wajib pungut dan menyetorkan PPN.

Implementasi ini jelas memperkuat anggapan bahwa Sri Mulyani dan lembaganya telah siap menghadapi tantangan ke depan. Pasalnya, target pemerintah adalah mengenakan PPh terhadap perusahaan teknologi yang meraup keuntungan dari penjualan produk atau aktivitas bisnisnya di Tanah Air.

Padahal, Kementerian Keuangan telah menerima surat dari the United States Trade Representative (USTR).

Surat ini yang menjadi gambaran kegusaran Presiden Trump ketika mengetahui sejumlah negara termasuk Indonesia akan mulai memungut pajak terhadap perusahaan teknologi AS.

USTR mengungkapkan akan menjalankan investigasi ke negara-negara tersebut, a.l. Inggris, India, Brasil, Indonesia dan Turki.

Menurut Trump, pajak digital tersebut tidak adih dan bersifat diskriminatif. Jika hasil investigasi USTR berhasil membuktikan kecurigaan Trump tersebut, maka Presiden AS tersebut akan melakukan pembalasan melalui penerapan tarif perdagangan tahun ini.

Pada Juni lalu, Sri Mulyani membantah bahwa penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai sumber permasalahan yang digaungkan pemerintah AS dan USTR.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan penerapan pajak digital di Indonesia tidak dipermasalahkan oleh pemerintahan AS.

"PPN bukan subjek dari suratnya USTR. USTR itu mempermasalahkan adalah PPh [Pajak Penghasilan], yang ini merupakan subjek dari pembicaraan di OECD [Organisation for Economic Co-operation and Development] mengenai bagaimana perusahaan membagi kewajiban pajak penghasilannya antar jurisdiksi," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Selasa (16/6/2020).

Terkait dengan surat USTR tersebut, Sri Mulyani menuturkan ini akan menjadi pembahasan secara bilateral ataupun secara bersama-sama.

"Untuk kepentingan bersama, kalau bisa aturannya sama untuk seluruh dunia. Jangan sampai ke Inggris begini, ke Perancis begini."

Adapun, pajak untuk PMSE adalah PPN yang dikenakan bagi perusahaan luar negeri yang tidak berdomisili di Indonesia tetapi memasarkan produk atau layanannya di Indonesia.

Pengenaan pajak digital di Indonesia berupa Pajak Pertambahan Nilai atau PPN yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48 tahun 2020.

Dengan PMK di atas serta aturan di bawah yang yang telah diterbitkan, subjek pajak luar negeri sekarang bisa menjadi pemungut dan pengumpul PPN untuk disampaikan kepada pemerintah.

"Kalau PPN itu tidak ada dispute karena PPN yang membayar itu orang yang menikmati. Artinya itu pajak pertambahan nilai," tegas Sri Mulyani.

Di sisi lain, dia mengakui bahwa yang masih menemui jalan buntu adalah persoalan PPh.

Terkait dengan masalah tersebut, Sri Mulyani menegaskan pemerintah akan bekerja sama dan berdialog di tingkat global. Dia meyakinkan ini bukan masalah Indonesia semata, tetapi semua negara menghadapi hal yang sama.

Benar saja, pemerintah Indonesia masuk sebagai salah satu negara yang akan mengambil langkah unilateral terkait pemajakan ekonomi digital.

Namun, aksi unilateral akan dilakukan pemerintah jika konsesus global terkait dengan pemajakan digital tidak bisa terwujud. Pemerintah Indonesia akan terus berupaya mendorong semua komunitas global supaya konsesus benar-benar tercapai.

"Jadi tidak serta merta, meski kita memiliki ketentuan mengenai pajak transaksi elektronik, tidak serta merta kita terapkan. Kita menunggu terjadinya suatu konsesus global," jelas Yoga.

Jika tidak ada solusi multilateral, OECD memperkirakan lebih banyak negara akan mengambil langkah-langkah unilateral dan mereka yang sudah memilikinya mungkin tidak lagi terus menahannya.

Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurría masih berharap solusi multilateral terkait pemajakan ekonomi digital bisa terealisasi.

"Solusi multilateral yang didasarkan pada pekerjaan 137 anggota Kerangka Inklusif di OECD jelas merupakan cara terbaik ke depan,” kata Gurría.

Pasalnya, aksi unilateral dapat memicu perselisihan pajak dan ketegangan perdagangan. Dua hal tersebut harus dihindari ketika kondisi ekonomi dunia sedang mengalami penurunan seperti saat ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Hadijah Alaydrus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper