Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bikin Konsumen Deg-Degan, Komunikasi Publik PLN Jadi Sorotan

"Saya dengan segala kerendahan hati atas nama seluruh karyawan, kami mohon maaf. Jadi dari sisi lonjakan tagihan, ada kekurangan komunikasi kami dengan segala kerendahan hati kami minta maaf," kata Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini
Petugas PLN melakukan pemeriksaan listrik. Istimewa/PLN
Petugas PLN melakukan pemeriksaan listrik. Istimewa/PLN

Bisnis.com, JAKARTA – Tidak hanya soal kinerja operasional, komunikasi publik perusahaan setrum negara alias PLN ikut dikritik Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi VII DPR dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Rabu (17/6/2020), Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini berhasil dibuat gusar. Rapat yang berlangsung hingga 6,5 jam itu pun terasa panas.

Di tengah tekanan pandemi virus corona atau Covid-19, masyarakt dibuat bingung melihat lonjakan tagihan listrik. Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno menuturkan pola komunikasi PLN dalam menjelaskan penyebab tagihan listrik melonjak kepada masyarakat dinilai kurang baik.

“Tolong diperbaiki. Pro aktif jelaskan ke masyarakat dan dengan bahasa sesederhana mungkin,” ujarnya dalam RDP, Rabu (17/6/2020).

Benar saja, luapan kekesalan konsumen diungkapkan lewat media sosial ataupun aduan langsung ke PLN. Hal ini pun dikonfirmasi oleh PLN. Perusahaan listrik pelat merah ini mencatat total pengaduan atau keluhan pelanggan terkait tagihan listrik dari April - Juni 2020 mencapai 80.344 laporan.

Menurut Eddy, masyarakat pun perlu mengetahui besaran tagihan listrik yang wajar. Meskipun, dalam praktiknya, PLN mempunyai perhitungan tersendiri dalam operasional.

Kritik pedas dari Wakil Rakyat ini pun dianggap wajar, mengingat tidak semua konsumen yang mengalami lonjakan tagihan sudah mendapat penjelasan yang bulat. Bahkan, artis sekaliber Raffi Ahmad pun ikut bingung mengapa tagihannya bisa membengkak.

"Masyarakat sedang kesulitan. Jadi, tolong PLN, jangan mengatakan karena warga bekerja dari rumah, banyak menonton drama Korea. Tidak perlu," tegasnya.

Direktur Utama PT PLN Zulkifli Zaini pun menyampaikan permohonan maaf dalam rapat tersebut. Menurutnya, adanya lonjakan tagihan listrik memang karena ada kenaikan konsumsi masyarakat.

Pasalnya, selama pandemi PLN menerapkan kebijakan untuk tidak melakukan pencatatan tetapi melakukan rerata selama tiga bulan sebelum pandemi.

Kebijakan ini, menurutnya, bukan hanya kebijakan dari PLN saja, tetapi juga sudah diskusi dengan pemerintah dan merupakan mandat pemerintah.

Zulkifli pun mengakui kegaduhan lonjakan tagihan listrik ini karena kurangnya dalam pola komunikasi dan sosialisasi PLN.

Paparan PLN dalam DRP Komisi VII, Rabu (17/6/2020)
Paparan PLN dalam DRP Komisi VII, Rabu (17/6/2020)

"Jadi dari sisi lonjakan tagihan, ada kekurangan komunikasi kami. Tapi kami sesuai mandat, keandalan kami, kami jaga sebaik-baiknya. Dengan segala kerendahan hati kami minta maaf," ucap Zulkifli.

Di sisi lain, Anggota Komisi VII DPR Fraksi PDI Perjuangan Paramita Widya Kusuma juga menilai bahwa penjelasan PLN terkait tagihan listrik yang melonjak tidak masuk akal.

PLN, menurutnya, beralasan bahwa meteran tidak dicatat guna mencegah penularan virus corona.

"Apakah petugas langsung bertatap muka dengan pelanggan? Kan tidak. Mereka hanya menghadap mesinnya," tuturnya.

Dalam kesimpulan rapat tersebut, Komisi VII DPR RI mendesak PLN untuk lebih proaktif dan komunikatif dalam menyampaikan penjelasan kepada masyarakat.

Penjelasan yang dimaksud adalah terkait tidak ada kenaikan tarif dasar listrik selama pandemi Covid-19, formula potongan bagi pelanggan 450 VA dan 900 VA, dan sosialisasi yang berkaitan dengan relaksasi yang diberikan kepada pelanggan yang terdampak oleh kenaikan tagihan listrik di atas 20 persen.

Kemudian, Komisi VII DPR RI juga meminta direksi perseroan untuk memberikan laporan terkait mekanisme perhitungan tagihan listrik secara mendetail dan komprehensif dan disampaikan secara tertulis kepada Komisi VII DPR RI.

Direksi PLN juga diminta melakukan inovasi-inovasi untuk meningkatkan kinerja perusahaan, khususnya dalam pelayanan kepada masyarakat.

Lalu, Komisi VII DPR RI mendesak PLN untuk bersungguh-sungguh dalam melakukan perencanaan kebutuhan listrik secara cepat dan tepat serta melakukan langkah-langkah strategis agar tidak terjadi kelebihan ataupun kekurangan pasokan listrik.

"Saya dengan segala kerendahan hati atas nama seluruh karyawan, kami mohon maaf. Jadi dari sisi lonjakan tagihan, ada kekurangan komunikasi kami dengan segala kerendahan hati kami minta maaf," ungkap Zulkifli.

Paparan PLN dalam DRP Komisi VII, Rabu (17/6/2020)
Paparan PLN dalam DRP Komisi VII, Rabu (17/6/2020)

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengamini bahwa komunikasi PLN dalam hal tagihan lonjakan tagihan listrik kurang optimal. Menurutnya, gaya komunikasi PLN cenderung defensif.

"Cenderung defensif. Walaupun saya melihat PLN cukup sigap membangun complaint center," ucapnya.

Sebelumnya, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyebutkan banyak menerima pengaduan soal tagihan listrik yang membengkak pada bulan Mei.

Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E Halim mengatakan pada 2018, BPKN menerima pengaduan sebanyak 580 pengaduan, lalu meningkat 1.518 pengaduan di 2019. Hingga 1 Juni, BPKN menerima pengaduan 582 aduan.

"Angka ini di luar pengaduan listrik karema belum direkap. Dari 582 pengaudaun 2020 kalau kami lihat darisektor, perumahan paling tinggi di 63 persen, kemudian keuangan, telekkomunikasi, e-commerce, dan lainnya," ujarnya dalam diskusi teleconference, Senin (15/6/2020).

Dia menuturkan pekan lalu pihaknya menerima cukup banyak pengaduan yang isinya berupa keluhan, konsultasi dan pengaduan terkait tagihan listrik.

Dia mencontohkan seorang pelanggan yang selama periode Januari-April pembayaran listrik stabil di angka Rp600.000 per bulan, tiba-tiba menjadi Rp1,4 juta pada Mei lalu.

"Memang fenomena lonjakan tagihan listrik membuat kita relatif agak shock, khususnya bidang perlindungan konsumen," katanya.

Menurutnya, kenaikan tagihan listrik yang harus dihadapi oleh banyak pelanggan PLN bisa membuat posisi konsumen menjadi semakin tersudut. Posisi konsumen akan menjadi lebih inferior dalam lonjakan tagihan listrik ini ketimbang pihak penyedia jasa, yakni PLN.

"Fenomena lonjakan listrik ini bukan lagi jadi bukti nyata inferior konsumen, ini akan memperburuk inferior konsumen," ucapnya. 

Pihaknya mencoba memahami kondisi masyarakat yang kini tengah kesulitan akibat wabah virus corona (Covid-19). Menurutnya, banyak warga yang saat ini sulit mencari pembiayaan akibat maraknya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga penghentian sementara kegiatan usaha.

Konsumsi Listrik Industri Melorot

Kendati ada kenaikan konsumsi listrik dari sektor rumah tangga, tetapi konsumsi listrik industri mengalami penurunan yang sangat besar sehingga tidak mengcover kenaikan dari konsumsi listrik rumah tangga.

Di sistem listrik Jawa-Bali, di bulan Mei penurunan konsumsi listrik itu 15 persen dibandingkan dengan waktu yang lalu atau turun sekitar 3.000 MW. Namun kenaikan listrik rumah tangga menurutnya tidak mengcover penurunan listrik industri

Berdasarkan penghitungan PLN, pendapatan yang diperoleh biasanya mencapai Rp25 triliun per bulan, namun pada Mei kemarin hanya Rp22 triliun.

"Mohon diketahui juga bahwa kondisi ini tidak hanya ke pelanggan, tetapi juga ke PLN sendiri yang akibat Covid-19 ini terkena penurunan demand listrik yang hampir 15 persen di sistem Jawa-Bali," terang Zulkifli.

Tahun ini pun menjadi tahun terberat bagi PLN. Pasalnya, pada kuartal I/2020 kinerja keungan perseroan mengalami kerugian sebesar Rp38,88 triliun dimana lebih rendah dari periode yang sama pada tahun 2019, dimana PLN berhasil meraup laba bersih Rp4,1 triliun.

Dia mengungkapkan kerugian itu diakibatkan sempat tertekannya kurs rupiah terhadap dollar AS pada Maret 2020 dimana total kerugian yang diakibatkan mata kurs mata uang asing mencapai Rp51,97 triliun.

"Pada saat itu nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp16.367 per dollar AS. Ini lebih tinggi dibandingkan dengan 31 Desember 2019 sebesar Rp14.244 per dollar AS, maka berdasarkan PSAK 10, perusahaan berkewajiban untuk mencatat selisih kurs sebesar Rp51,97 triliun," ujarnya.

Hal tersebut mengakibatkan kinerja keuangan perseroan pada kuartal I-2020 mengalami rugi sebesar Rp38,88 triliun.

Namum demikian, pihaknya masih mampu membukukan laba usaha Rp6,81 triliun, EBITDA positif Rp16,93 triliun dan EBITDA margin 19,78 persen. Selain itu, pendapatan perseroan pada kuartal I-2020 masih tumbuh 5,08 persen atau Rp3,4 triliun dari Rp66,85 triliun pada kuartal I-2019 menjadi Rp70,25 triliun.

Penjualan listrik mengalami kenaikan dimana volume penjualan listrik juga mengalami kenaikan sebesar 4,62 persen atau 2.727 gigawatt hour dibandingkan dengan 59.059 gigawatt pada kuartal I-2019 menjadi 61.785 gigawatt pada kuartal I-2020.

Pelanggan PLN juga masih tumbuh hingga akhir Maret mencapai 76,5 juta, bertambah 3,57 juta dari posisi akhir Maret 2019 sebesar 72,77 juta pelanggan.

Lalu, rasio elektrifikasi naik dari 98,89 persen pada akhir tahun lalu menjadi 98,93 persen pada Maret 2020. Dengan melihat pencapaian-pencapaian tersebut, Zulkifli menilai realisasi kinerja perseroan pada kuartal I-2020 masih positif.

"Kecuali akibat kurs yang melemah tadi, sesuai PSAK 10, harus kami catat sebagai akhirnya kerugian accounting," ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper