Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Jony Oktavian Haryanto

Rektor President University

Prof. Dr. Jony Oktavian Haryanto saat ini menjabat Rektor President University

Lihat artikel saya lainnya

Bangkrutnya Universitas, Biarkan Pandemi Covid-19 Jadi Seleksi Alam

Ada banyak universitas di Indonesia, terutama yang kecil-kecil, yang tidak dikelola dengan baik dan benar. Biarkan pandemi Covid-19 menjadi ajang ‘seleksi alam’ bagi kelangsungan hidup universitas.
Top 3 perguruan tinggi Indonesia di THE Impact Ranking 2020
Top 3 perguruan tinggi Indonesia di THE Impact Ranking 2020

Saya sempat tertegun ketika membaca artikel di USA Today edisi akhir Maret 2020. Artikel itu melaporkan bahwa mestinya di kampus-kampus kecil di Amerika Serikat (AS) sudah penuh dengan mahasiswa. Kenyataannya tidak begitu. Kampus-kampus di sana nyaris kosong. Sepi.

Mereka tak mampu memikat siswa-siswa lulusan SLTA untuk kuliah. Bahkan, mereka yang sudah terdaftar sebagai mahasiswa pun tak datang lagi ke kampus. Di AS, kampus dianggap kecil ketika jumlah mahasiswanya tak sampai 5.000 orang.

Di sana, banyak kampus kecil yang menerapkan sistem asrama dan menyediakan makanan untuk mahasiswanya. Ketika pandemi Covid-19 melanda, kampus-kampus itu meminta mahasiswanya pulang ke rumah masing-masing, kecuali bagi mereka yang terpaksa harus tetap tinggal di asrama. Perkuliahan dialihkan secara online.

Kebijakan itu berisiko. Kampus tak lagi memperoleh pendapatan dari sewa asrama dan biaya makan minum. Bahkan sebagian biaya yang sudah terlanjur dibayar mahasiswa harus dikembalikan oleh pihak kampus. Di sisi lain kampus mesti mengeluarkan anggaran tambahan untuk mengembangkan aplikasi pembelajaran secara online.

Jadi, pada satu sisi pendapatan kampus terus menurun, di sisi lain pengeluarannya terus meningkat. Kondisi inilah yang membuat kinerja keuangan kampus-kampus kecil tersebut menurun. Dan, kita semua tak pernah tahu sampai kapan pendemi Covid-19 ini akan berakhir.

Dalam skala yang lebih luas, kondisi tersebut tercermin dari peringkat investasi yang dikeluarkan oleh Moody’s Investment Services pada 18 Maret lalu. Moody’s menurunkan peringkat investasi dari seluruh sektor pendidikan di AS dari stabil menjadi negatif.

Jika kita mengklik website John F. Kennedy (JFK) University, kampusnya berlokasi di Pleasant Hill, California, bahkan di sana diumumkan bahwa universitas tersebut sudah memutuskan untuk menghentikan operasinya pada akhir tahun ini. Seluruh mahasiswa yang ada akan dialihkan ke kampus-kampus lain. Padahal, JFK University terbilang kampus yang sudah berumur. Berdiri pada 1965, berarti usia kampus itu sudah 55 tahun.

Bagaimana dengan di Indonesia? Kita saat ini memiliki sekitar 4.200 universitas dan sekolah tinggi. Di antara mereka, hanya 85 yang universitas negeri. Selebihnya, atau mayoritas, adalah universitas swasta yang mayoritas adalah kampus-kampus kecil. Jumlah mahasiswanya tak sampai 1.000 orang.

Tak heran kalau fenomena kampus-kampus kecil di AS juga terjadi di Indonesia. Banyak kampus yang saat ini terengah-engah untuk mempertahankan hidupnya akibat pandemi Covid-19. Mereka kesulitan untuk mempertahankan operasionalnya (kegiatan perkuliahan) karena beragam penyebab. Di antaranya, sulit menyelenggarakan sistem perkuliahan secara daring (online) karena infrastruktur teknologi informasi di kampus yang kurang mendukung atau bisa juga karena dosennya kurang adaptif.

Ada juga yang mahasiswanya tak bisa kembali lagi ke kampus. Penyebabnya, orang tuanya (atau bahkan si mahasiswa itu sendiri) tak lagi mampu membiayai kuliahnya, karena menjadi korban PHK. Kampus-kampus kecil itu juga kesulitan merekrut mahasiswa-mahasiswa baru.

Mengapa? Kampus-kampus ini kurang adaptif. Telanjur terbiasa dengan skema rekrutmen tradisional yang membutuhkan kehadiran secara fisik. Penyebab lainnya, sama seperti sebelumnya, banyak orang tua yang tak lagi mampu membiayai. Entah karena mereka menjadi korban PHK, perusahaannya tutup, atau bisnisnya menyusut drastis.

Bagaimana kita menyikapi nasib kampus-kampus tersebut? UUD 1945 mengamanatkan pemerintah untuk “… mencerdaskan kehidupan bangsa…”. Pasal 31 UUD 1945 menegaskan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Bahkan, pemerintah diminta mengalokasikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran belanja negara dan daerah untuk pendidikan.

Di sisi lain, McKinsey Global Institute memprediksi pada 2030, Indonesia akan menjadi negara ke-7 terbesar di dunia. Untuk itu ada beberapa syarat yang mesti dipenuhi. Salah satunya, Indonesia harus memiliki 113 juta tenaga terampil atau terdidik. Ketika McKinsey merilis kajiannya pada 2012, jumlah tenaga terampil Indonesia baru mencapai 55 juta. Jadi, kita masih kekurangan banyak tenaga terampil/terdidik.

Pandemi Covid-19 bisa memporakporandakan harapan Indonesia untuk menjadi negara maju. Apa yang harus dilakukan?

Paling tidak ada dua pertimbangan. Pertama, Ada banyak universitas di Indonesia, terutama yang kecil-kecil, yang tidak dikelola dengan baik dan benar. Kampusnya ada di ruko. Itu pun sewa. Penyelenggaraan perkuliahannya amburadul. Terhadap mereka kita tak perlu menyelamatkan lembaga pendidikannya tetapi perlu menyelamatkan mahasiswanya.

Kedua, kita mempunyai terlalu banyak perguruan tinggi. Pada tahun 2017, China dengan 1,5 miliar penduduknya pun hanya memiliki sekitar 2.900 perguruan tinggi. Kita punya lebih dari 4.200! Maka, biarkan pandemi Covid-19 menjadi ajang ‘seleksi alam’.

Bagaimana dengan nasib mahasiswa dan dosen-dosennya? Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu memfasilitasi agar kampus-kampus abal-abal tersebut, terutama mahasiswa dan dosen-dosennya, bisa dialihkan ke kampus-kampus yang dikelola dengan baik dan benar.

Model pengalihannya bisa macam-macam. Bisa merger, akuisisi, kerja sama pengelolaan, dan lain sebagainya. Atau, bisa juga meniru model JFK University yang mengalihkan mahasiswanya ke kampus-kampus lain.

Bagaimana dengan kampus yang dikelola dengan baik dan benar tetapi tetap terpukul oleh pandemi Covid-19? Saya percaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai datanya. Terhadap mereka, pemerintah perlu memberikan bantuan. Bentuknya bisa macam-macam. Misalnya, dengan memangkas biaya atau bahkan menggratiskan layanan internet untuk pendidikan atau untuk sementara universitas tak perlu membayar pajak bumi dan bangunan.

Pemberian beasiswa dari pemerintah untuk siswa yang kuliah di kampus yang dikelola dengan benar juga merupakan oase di tengah padang gurun dalam masa sulit seperti ini. Tanpa bantuan dari pemerintah, bukan tidak mungkin kampus besar yang selama ini sudah dikelola dengan baik pun bisa ikut bangkrut.

Jika itu terjadi, mimpi menjadi negara besar hanya tinggal mimpi dan pendidikan kita akan mundur beberapa puluh tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper