Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dalam Skenario Terburuk OECD, Ekonomi Global Ternyata Bisa Anjlok 7,6 Persen

Skenario terburuk ini bisa terjadi jika gelombang kedua pandemi Covid-19 kembali muncul.
Sejumlah orang pada 20 Maret 2020 berjalan di Circular Quay di Sydney melewati kafe-kafe yang kosong akibat lockdown yang diberlakukan untuk membendung penularan virus corona jenis Covid-19./Bloomberg
Sejumlah orang pada 20 Maret 2020 berjalan di Circular Quay di Sydney melewati kafe-kafe yang kosong akibat lockdown yang diberlakukan untuk membendung penularan virus corona jenis Covid-19./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - OECD memproyeksikan dalam skenario terburuk kinerja ekonomi global bisa terkontraksi hingga 7,6 persen dengan catatan gelombang kedua Covid-19 kembali muncul.

Jika sebaliknya, kontraksi ekonomi global hanya akan terjadi di level 6 persen. Dalam laporan Economic Outlook terbarunya, OECD menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 telah memicu resesi paling parah dalam hampir seabad dan menyebabkan kerusakan besar pada kesehatan, pekerjaan dan kesejahteraan manusia.

OECD mencatat dampak ekonomi dari lockdown yang sangat ketat di Eropa akan sangat keras. PDB kawasan Euro diperkirakan akan turun 11,5 persen tahun ini jika gelombang kedua pecah dan lebih dari 9 persen bahkan jika gelombang kedua dihindari.

Sementara PDB di Amerika Serikat akan menerima pukulan masing-masing sebesar 8,5 persen dan 7,3 persen, dan Jepang 7,3 persen dan 6 persen.

"Ketidakpastian jelas ekstrem, dalam konteks saat ini implikasinya terhadap kebijakan ekonomi makro tidak simetris. Para pembuat memang tidak terlalu lambat dalam memperkenalkan tindakan darurat, dan mereka harus berjaga-jaga agar tidak terlalu cepat untuk menariknya," kata Sekjen OECD Angel Gurria dalam keterangan resmi yang dikutip, Kamis (11/6/2020).

Adapun, negara-negara berkembang seperti Brasil, Rusia dan Afrika Selatan, menghadapi tantangan khusus. Sistem kesehatan ditambah jatuhnya harga komoditas, dan ekonomi telah menjadi pukulan telak.

OECD memperkirakan tahun 2020 perekonomian mereka anjlok masing-masing sebesar 9,1 persen, 10 persen, dan 8,2 persen dalam kasus dalam skenario gelombang kedua dan 7,4 persen, 8 persen dan 7,5 persen jika gelombang kedua bisa dihindari.

"PDB Tiongkok dan India akan relatif lebih sedikit terpengaruh, dengan penurunan masing-masing 3,7 persen dan 7,3 persen untuk gelombang kedua dan 2,6 persen dan 3,7 persen;" tulis laporan itu.

Sementara itu Kepala Ekonom OECD Laurence Boone mengatakan kebijakan luar biasa diperlukan untuk menghadapi tantangan menuju pemulihan. Namun menurutnya memulai kembali kegiatan ekonomi sambil menghindari wabah kedua membutuhkan pembuatan kebijakan yang fleksibel dan gesit.

Dia mengatakan jaring pengaman dan dukungan yang saat ini disediakan untuk sektor-sektor yang paling parah perlu diadaptasi untuk membantu bisnis dan pekerja pindah ke kegiatan baru.

Selain itu utang publik yang lebih tinggi tidak dapat dihindari, tetapi pengeluaran yang dibiayai utang harus tepat sasaran untuk mendukung masyarakat yang paling rentan dan menyediakan investasi yang dibutuhkan untuk transisi ke ekonomi yang lebih tangguh.

"Pemerintah harus memanfaatkan kesempatan ini untuk membangun ekonomi yang lebih adil, menjadikan kompetisi dan regulasi lebih cerdas, memodernisasi pajak, pengeluaran pemerintah, dan perlindungan sosial," tukasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper