Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

New Normal, Waktunya Cari Pengganti Ojek Online?

Dengan kapasitas 50 persen artinya pengguna sepeda motor hanya dapat mengangkut pengemudinya saja.
Petugas medis melakukan tes cepat (Rapid Test) COVID-19 kepada pengemudi ojek online di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta, Senin (20/4/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Petugas medis melakukan tes cepat (Rapid Test) COVID-19 kepada pengemudi ojek online di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta, Senin (20/4/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA – Rencana pengembalian ojek online (ojol) mengangkut kembali penumpang di masa kenormalan baru atua new normal dinilai tetap sulit karena tidak dapat memenuhi ketentuan kapasitas 50 persen penumpang pada moda angkutan umum.

Pasalnya, dengan kapasitas 50 persen artinya pengguna sepeda motor hanya dapat mengangkut pengemudinya saja.

Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengatakan dampak dari wabah Covid-19 telah membuat semua orang menjadi cemas, dan sebagai upaya meredam tingkat penularan penyakit maka kemudian Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan protokol kesehatan.

Terkait dengan protokol kesehatan tersebut, kemudian Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kemudian diterapkan di beberapa daerah.

Terkait dengan ketentuan pembatasan jarak, maka yang sangat tidak mudah dalam penerapannya adalah pada angkutan umum.

Hal tersebut menjadi dilema, ketentuan pengisian faktor muat maksimum 50 persen berarti menuntut pengawasan yang ketat. Untuk moda angkutan umum kereta api, bus, hingga taksi, masih sangat memungkinkan untuk mengangkut penumpang.

"Tidak demikian dengan ojek, yang walaupun secara hukum tidak diakui sebagai jenis angkutan umum, menjadi tertutup kesempatannya untuk mengangkut penumpang karena dinilai tidak memungkinkan menerapkan jaga jarak social antara pengemudi dan penumpangnya," jelasnya, Selasa (2/6/2020).

Berdasar kenyataan tersebut, pemerintah dapat menata atau merancang kembali “angkutan alternatif” yang bisa untuk menggantikan peran ojek.

Memang, sejauh ini, moda angkutan tersebut mampu menyediakan ruang/jarak antara pengemudi dan penumpangnya, bahkan sangat memungkinkan dipasang sekat pemisah secara permanen, sehingga masing-masing pihak dapat merasa terjaga kesehatannya.

Menurut Djoko, sebenarnya tidaklah sulit untuk merancang moda angkutan tersebut karena pada saat ini kendaraan yang penulis maksudkan sudah eksis di beberapa kota di Indonesia, yang terbanyak ada di Jakarta, yaitu kendaraan roda tiga yang populer disebut “bajaj”.

"Pada kendaraan bajaj sangat mudah dipasang sekat permanen, sehingga tercipta jarak sosial [social distancing] karena terpisahnya antara ruang penumpang dan ruang pengemudi," ujarnya.

Peneliti Senior Institut Studi Transportasi (INSTRAN) Felix Iryantomo menyebut kelemahan operasional bajaj di Jakarta terangnya, saat ini adalah jumlah armada masih terbatas tidak sebanyak jumlah sepeda motor, dan adanya pembatasan wilayah operasi tidak seleluasa pergerakan ojek.

"Sedangkan keunggulan bajaj, kendaraan roda tiga ini mampu mengangkut penumpang sekaligus barang, memiliki rumah-rumah yang menjadikan pengemudi dan penumpang terlindung dari cuaca panas maupun hujan, sehingga bajaj dapat disebut juga sebagai moda angkutan alternatif yang lebih manusiawi," paparnya.

Guna lebih mempopulerkan bajaj, paparnya, pemerintah dapat menghilangkan pembatasan wilayah operasi, sehingga menjadi leluasa layaknya sepeda motor.

Pada setiap kendaraan bajaj, setelah dipasangi sekat permanen, dapat pula diwajibkan dipasangi meteran penghitung ongkos (argometer), metode pembayaran non tunai, bahkan dapat pula diterapkan sistem pemesanan secara daring.

Felix menilai hal tersebut tidaklah sulit untuk diterapkan, pemerintah bisa merangkul perusahaan penyedia/produsen kendaraan, Organda, kalangan perbankan, sekaligus perusahaan penyedia aplikasi sistem pemesanan daring.

"Kendaraan roda tiga sebagai angkutan umum yang dilengkapi dengan alat meteran penghitung ongkos tersebut pernah penulis saksikan dan mencobanya di Colombo, Ibukota Sri Lanka, bahkan di Negara tersebut kendaraan roda tiga disebut juga sebagai taxi," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper