Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Manufaktur Indonesia Paling Babak Belur di Asean

Posisi tertinggi PMI April ditempati oleh Thailand di angka 46,7 dan disusul Singapura 33,3. Posisi selanjutnya ditempati Vietnam 32,7 dan Filipina 31,6 serta Malaysia 31,3.
Aktivitas karyawan di salah satu pabrik di Jakarta, Jumat (20/9/2019). Bisnis/Arief Hermawan P
Aktivitas karyawan di salah satu pabrik di Jakarta, Jumat (20/9/2019). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — IHS Markit mencatat purchasing managers index (PMI) periode April paling menyedihkan bagi Indonesia di antara negara Asean yang lain. PMI Indonesia bertengger di level 27,5 paling rendah setelah Myanmar 29,0.

Posisi tertinggi ditempatai oleh Thailand di angka 46,7 dan disusul Singapura 33,3. Posisi selanjutnya ditempati Vietnam 32,7 dan Filipina 31,6 serta Malaysia 31,3.

Di Indonesia, IHS menilai penurunan PMI dikarenakan tindakan yang lebih ketat untuk mencegah pandemi penyakit covid-19 yang menyebabkan penutupan pabrik dan anjloknya permintaan, output, dan permintaan baru.

Hal itu menyebabkan kelebihan kapasitas yang lebih besar dan menyumbang penurunan tajam pada catatan ketenagakerjaan. Perusahaan juga banyak mengurangi aktivitas pembelian dan inventaris input mereka.

Dari segi harga, biaya produksi naik tajam sebagai akibat melemahnya rupiah dan kekurangan pasokan. Pembatasan berskala besar diberlakukan di berbagai wilayah di Indonesia untuk memerangi pandemi virus korona yang sangat membebani produksi sehingga banyak perusahaan harus tutup sementara.

Kepala Ekonom IHS Markit Bernard Aw bahkan menyebut kondisi ini menjadi kerusakan terparah yang belum pernah terjadi terhadap perekonomian di Indonesia sebelumnya.

Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan di sejumlah wilayah di Indonesia, terbukti memengaruhi tingkat produksi sehingga menyebabkan banyak perusahaan harus tutup sementara. IHS juga menyoroti banyaknya terjadi pemutusan kerja karyawan yang terus meningkat.

Hal itu menjadikan penurunan ketenagakerjaan pada titik terendah hanya dalam dua bulan karena lapangan kerja berkurang.

"Akibat langkah ketat upaya penahanan wabah Covid-19 menjadikan industri manufaktur terdampak parah. PMI yang jatuh dari 45,3 pada Maret ke 27,5 pada April, menandai posisi terendah selama sembilan tahun survei. Akibatnya pertumbuhan GDP menurun tajam mendekati 3 persen," katanya, Senin (4/5/2020).

Indeks Output anjlok ke posisi terendah yang sebagian disebabkan oleh jatuhnya permintaan ekspor.

Penurunan substansial pada permintaan menyumbang kenaikan besar pada kelebihan kapasitas sebagaimana ditunjukkan oleh penurunan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada penumpukan pekerjaan manufaktur.

Hal ini kemudian ditambah dengan penurunan ketenagakerjaan pada titik terendah. Data survei menunjukkan bahwa lapangan kerja banyak berkurang selama dua bulan berturut-turut dengan adanya laporan PHK yang menyebarluas.

Dengan penutupan pabrik dan berkurangnya penjualan, perusahaan mengurangi aktivitas pembelian dan lebih mengandalkan stok yang ada. Pembelian input merosot ke tingkat terbesar sepanjang sejarah survei yang menyumbang penurunan dalam catatan inventaris input. Sementara stok barang jadi turun selama dua bulan berturut-turut, meski pada kisaran marginal.

Selain itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan purchasing managers' index (PMI) Indonesia selama bulan keempat tahun ini menukik ke level 27,5 dari 45,3 pada Maret 2020. Angka ini terendah sepanjang sejarah nasional.

"PMI Indonesia mengalami penurunan paling dalam di Asean, bahkan di bawah Jepang dan Korea Selatan," ujarnya dalam rapat secara live streaming bersama Banggar DPR RI, Senin (4/5/2020).

Dia menambahkan penurunan tersebut merupakan puncak perburukan industri sektor manufaktur di Tanah Air dan diperkirakan masih berlangsung hingga Mei 2020.

Sri Mulyani juga menegaskan PMI Indonesia yang anjlok pada April tersebut harus diwaspadai karena turun sangat drastis hanya dalam 1 bulan.

"Ini perlu langkah cepat untuk menciptakan bantalan sektor ekonomi dan keuangan," katanya.

Adapun terkati rantai pasokan juga mengalami tekanan yang lebih besar disebabkan kombinasi antara penutupan pemasok pabrik dan pelarangan transportasi. Data survei menunjukkan perpanjangan waktu pengiriman paling parah sejak survei dimulai sembilan tahun yang lalu.

Sementara itu, kekurangan bahan baku dan depresiasi rupiah menyebabkan kenaikan lanjutan pada biaya produksi. Adanya kenaikan harga untuk produk makanan, kain, logam dasar, bahan kimia, dan produk kertas.

Pengeluaran bisnis secara keseluruhan naik pada kisaran tercepat sejak Desember 2018. Beban biaya terbesar mendorong perusahaan untuk menaikkan harga yang dikenakan untuk pertama kalinya dalam delapan bulan, meski pada kisaran kecil.

Meski kondisi pabrik sangat buruk, prospek jangka panjang tetap positif, dengan optimisme secara umum berkaitan dengan kenaikan proyeksi penjualan menjelang Lebaran dan juga harapan bahwa bisnis akan mampu beroperasi normal kembali begitu situasi pandemi global membaik.

Akan tetapi, Indeks Output Masa Depan atau tolok ukur kepercayaan diri, terus tercatat di bawah rata-rata jangka panjang, dengan perusahaan yang pesimis menyampaikan kekhawatiran perpanjangan penutupan pabrik pada bulan-bulan mendatang.

Data

  • Asean  43,4
  • Malaysia 31,3
  • Indonesia 27,5
  • Vietnam 32,7
  • Myanmar 29,0
  • Filipina 31,6
  • Singapura 33.3
  • Thailand 46,7

Sumber : IHS Markit, April 2020

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper