Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Duh, Produksi APD dan Masker Terancam Berhenti!

Daya guna pabrikan tekstil dan produk tekstil nasional saat ini berada di level 30 persen dan akan turun ke posisi 20 persen pada bulan depan.
Buruh menyelesaikan pembuatan masker di PT Jayamas Medica Desa Karangwinongan, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Rabu (18/3/2020)./ANTARA FOTO-Syaiful Arif
Buruh menyelesaikan pembuatan masker di PT Jayamas Medica Desa Karangwinongan, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Rabu (18/3/2020)./ANTARA FOTO-Syaiful Arif

Bisnis.com, JAKARTA — Produksi alat pelindung diri dan masker terancam berhenti dalam waktu dekat karena arus kas pabrikan produsen saat ini dalam tekanan berat.

Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) menyatakan utilitas pabrikan tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional saat ini berada di level 30 persen dan akan turun ke posisi 20 persen pada bulan depan. Asosiasi menilai peralihan lini produksi ke produksi alat pelindung diri (APD) dan masker tidak dapat menutupi kontraksi pasar.

"Untuk saat ini [produksi APD dan masker] masih aman. [Akan tetapi,] beberapa pabrikan ada yang sudah bicara [hanya mampu menjaga kelangsungan produksi APD dan masker] sampai Juni 2020," kata Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Wirawasta kepada Bisnis, Kamis (16/4/2020).

Redma menjelaskan bahwa rendahnya daya guna pabrikan TPT nasional disebabkan oleh masifnya jumlah pabrikan yang menghentikan produksi secara total. Sementara itu, pabrikan yang masih beroperasi memiliki utilitas di ambang batas atau di level 60 persen.

Saat ini, lanjutnya, pabrikan mengalihkan seluruh arus kas yang tersedia untuk memproduksi APD dan masker. Namun demikian, Redma berujar pabrikan tekstil akan menghentikan produksi jika daya guna berada di bawah level 60 persen.

Jika pabrikan tekstil menghentikan produksi, pabrikan garmen tidak akan mendapatkan bahan baku untuk memproduksi APD maupun masker.

Oleh karena itu, Redma menilai bahwa relaksasi dibutuhkan tidak hanya bagi mereka yang saat ini masih berproduksi, tetapi juga bagi mereka yang saat ini tutup dan diperlukan untuk kembali beroperasi pasca pandemi COVID-19 berakhir.

Sebelumnya, APSyFI telah meminta beberapa relaksasi kepada pemerintah pada masa pandemi terkait dengan pembayaran rekening listrik, gas, moneter, BPJS Ketenagakerjaan dan perpajakan. Menurut Redma, pihaknya telah menyampaikan surat secara resmi ke beberapa kementerian dan lembaga terkait hal ini, tetapi hingga saat ini masih minim tindak lanjut.

“Karena kami harus prioritaskan pembayaran upah karyawan dan THR [tunjangan hari raya]-nya, kalau semua kewajiban biaya tetap dibebankan, sedangkan pemasukan tidak ada, kami bayar pakai apa? Nanti banyak perusahaan akan pailit,” ujarnya.

Redma berujar telah melakukan dialog dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., dan BPJS Ketenagakerjaan terkait dengan penundaan pembayaran tagihan. Namun, lanjutnya, ketiga badan usaha milik negara tersebut masih belum merespons dialog asosiasi.

Selain itu, katanya, sektor perbankan sangat lambat merespons arahan relaksasi pembiayaan oleh Otoritas Jasa Keuangan pada masa pandemi. "Padahal, ini kan kondisi bencana luar biasa!”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Andi M. Arief
Editor : Zufrizal
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper