Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ahli Tambang Ramai-Ramai Minta Pembahasan RUU Minerba Ditunda

Pembahasan RUU Minerba dinilai terkesan dipaksakan dan belum memenuhi sejumlah ketentuan yang berlaku.
/Ilustrasi
/Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA - Para ahli pertambangan mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo tentang pembahasan revisi atas UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara No. 4/2009.

Dalam surat terbuka itu, kalangan ahli pertambangan menolak rencana DPR RI dan Pemerintah yang akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Minerba) di tengah kondisi pandemi virus Corona (Covid-19).

DPR melalui Komisi VII disebut telah mengagendakan rapat kerja dengan Pemerintah yang diwakili oleh Menteri ESDM, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian, dan Menteri Keuangan pada tanggal 8 April 2020 dengan agenda pembicaraan atau pengambilan keputusan tingkat I atas RUU Minerba.

Pakar Hukum Pertambangan Universitas Tarumanegara Ahmad Redi mengatakan Pemerintah harus menghentikan proses pembahasan dan pengambilan keputusan atas RUU Minerba.

Pembicaraan atau pengambilan keputusan tingkat I merupakan pengambilan keputusan antara komisi sebagai alat kelengkapan DPR yang bertugas membahas rancangan undang-undang bersama menteri yang mewakili Presiden/pemerintah.

Pengambilan keputusan tingkat I ini menandakan pembahasan rancangan undang-undang oleh DPR dan Pemerintah telah berakhir karena tinggal satu tahap lagi pengambilan keputusan tingkat II, yaitu di rapat paripurna DPR yang tinggal ketok palu penetapan dan pengesahan.

"Lalu, pertanyaannya kapan RUU Minerba dibahas? Hampir dipastikan publik dan rakyat Indonesia tidak akan pernah tahu kapan dan dimana pembahasan RUU Minerba dibahas," ujarnya, Jumat (3/4/2020).

Dia menilai hal itu merupakan pelanggaran dan cacat hukum pembahasan RUU Minerba. Pasalnya, sejak awal pembahasan RUU Minerba ini menuai masalah dan kontroversial.

Menurutnya, pembahasan itu terkesan dipaksakan dan terburu-buru dan dinilai memuat kepentingan pihak-pihak tertentu, khususnya sebagian pelaku usaha pertambangan batubara.

Redi berpendapat RUU Minerba tidak memenuhi kualifikasi sebagai RUU yang dapat dilanjutkan pembahasannya (carry over). Pasalnya,RUU Minerba merupakan RUU inisiatif DPR yang telah disusun drafnya sejak DPR periode 2014 - 2019 dan hingga masa jabatan DPR periode lalu berakhir bulan September 2019 belum dilakukan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Minerba.

"Berdasarkan Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan bahwa carry over pembahasan RUU harus memenuhi syarat telah dilakukan pembahasan DIM, padahal DPR periode lalu belum satupun membahas DIM RUU Minerba," tuturnya.

Selain itu, seluruh Pembahasan RUU Minerba dilakukan tertutup dan tidak dilakukan di gedung DPR dan pembahasan RUU dilakukan melalui rapat kerja dan rapat Panitia Kerja (Panja) yang seharusnya terbuka untuk umum.

Hal ini sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Tata tertib DPR yang menyatakan semua rapat di DPR pada dasarnya bersifat terbuka, bisa tertutup hanya apabila terkait dengan rahasia negara atau kesusilaan.

Lebih lanjut dia menilai UU itu juga melanggar Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terkait dengan azas keterbukaan, yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.

"Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," katanya.

Redi menuturkan pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan partisipasi publik dan stakeholder, pembahasan RUU Minerba yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak seharusnya dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan stakeholder.

Dia pun melihat hingga saat ini, tak ada uji publik terhadap materi RUU Minerba, padahal naskah hasil pembahasan RUU Minerba sebelum diambil keputusan seharusnya dilakukan uji publik.

"Dalam hal ini hasil pembahasan RUU Minerba tidak dapat dipertanggungjawabkan secara formil dan materiil," ucap Redi.

Sementara itu, Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso berpendapat RUU Minerba dengan Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini akan tumpang tindih karena kesamaan materi pengaturan. Sebagian materi RUU Minerba saat ini juga menjadi bagian materi Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

"Dalam hal ini telah tidak konsisten politik hukum Presiden dan DPR dalam pengaturan tata kelola usaha pertambangan minerba," ujarnya.

Pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI), berdasarkan Pasal 22D UUD Negara RI Tahun 1945, Pasal 249 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 92/PUU-X/2012, bahwa DPD mempunyai kewenangan membahas rancangan undangundang yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, sehingga pembahasan RUU Minerba secara konstitusional harus dibahas dengan melibatkan DPD.

"Pembahasan RUU Minerba yang tidak melibatkan DPD jelas pelanggaran terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 dan inkonstitusional," katanya.

Budi menilai rencana pengambilan keputusan atas RUU Minerba dalam rapat kerja dengan virtual meeting cacat hukum dan hasilnya batal demi hukum.

"Sehubungan dengan kondisi wabah Corona Covid 19 Komisi VII DPR RI mengagendakan pengambilan keputusan tingkat I melalui rapat kerja secara virtual, yaitu tanpa kehadiran fisik atau kehadiran fisik dilakukan secara perwakilan fraksi," ucapnya.

Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 13 Tahun 2019 dan Tata Tertib DPR yang masih berlaku bahwa rapat DPR dapat mengambil keputusan jika dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur Fraksi, kehadiran disini adalah kehadiran fisik yang dibuktikan dengan tandatangan daftar hadir.

"Rapat virtual dapat dilaksanakan apabila tidak mengambil keputusan dan belum diatur dalam tata tertib DPR," terang Budi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Yanita Petriella
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper