Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonomi Tak Bergairah, Penjualan Listrik PLN Melambat

Sepanjang tahun lalu PLN mencatatkan penjualan listrik 245,52 Tera Watt hour (TWh).
Petugas melakukan perawatan rutin di Gardu Induk Gandul, Cinere,Jawa Barat. Bisnis/Nurul Hidayat
Petugas melakukan perawatan rutin di Gardu Induk Gandul, Cinere,Jawa Barat. Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Penjualan listrik PT PLN (Persero) diperkirakan kembali mengalami perlambatan dengan pertumbuhan di bawah 4 persen pada Januari 2020.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan sepanjang tahun lalu, PLN mencatatkan penjualan listrik 245,52 Tera Watt hour (TWh), naik 4,65 persen dibandingkan dengan realisasi 2018 sebesar 234,61 TWh.

Perusahaan setrum pelat merah tersebut menargetkan penjualan tenaga listrik sebesar 248,8 TWh pada tahun ini.

Pertumbuhan penjualan tenaga listrik 2019, yang hanya sebesar 4,65 persen secara tahunan tersebut, juga melambat dari pertumbuhan tahun sebelumnya, yang mencapai 5,14 persen.

"Misalkan, [target] tahun lalu 5,6 persen, realisasinya 4,6 persen. Januari ini katanya enggak sampai empat persen," ujarnya, Jumat (6/3/2020).

Menurutnya, faktor yang mempengaruhi melemahnya pertumbuhan penjualan listrik ini salah satunya karena lesunya kondisi ekonomi. Namun, Rida menampik ekonomi yang lesu dan terjadinya penurunan penjualan disebabkan oleh tarif listrik yang tak kompetitif.

Pasalnya, tarif listrik untuk sektor industri di Indonesia masih lebih rendah bila dibandingkan dengan Singapura dan Filipina. Adapun, tarif listrik industri menengah dan industri besar di Indonesia masing-masing Rp1.115 per kWh dan Rp997 per kWh.

Sementara, di Singapura sebesar Rp1.781 per kWh dan Rp1.734 per kWh, dan Filipina masing-masing Rp1.458 per kWh dan Rp1.450 per kWh.

"Ada keterlambatan di sektor industri. Apa kemudian terkait dengan harga listrik yang terlalu mahal untuk mereka sehingga produknya tidak kompetitif, tetapi ternyata juga enggak. Kami bandingkan dengan yang di Asean, masih kompetitif. Ini sudah rendah juga dibandingkan kawasan Asean. Jadi, kalau industri lesu, bukan karena harga listriknya mahal," tuturnya.

Pertumbuhan listrik yang melambat juga diperkirakan karena adanya banjir yang melanda di sejumlah wilayah dalam dua bulan ini. Selain itu, juga kemungkinan merebak virus corona turut serta berdampak pada berkurangnya konsumsi listrik industri.

"Macem-macem faktornya, apa banjir, apa mulai corona, enggak ngerti lah. Enggak sampai 4 persen, kan mulai deg-degan," kata Rida.

Saat ini, lanjutnya, kondisi neraca daya PLN menunjukkan kelebihan pasokan akibat konsumsi listrik yang rendah dan juga beroperasinya beberapa pembangkit dari program 35.000 Mega Watt (MW).

Tentu saja hal ini sangat dikhawatirkan dan menjadi fokus pemerintah karena penyerapan listrik yang tak maksimal dan pasokan listrik berlebih akan berdampak pada keuangan PLN.

Oleh karena itu, sejumlah cara dilakukan agar konsumsi listrik meningkat.

Salah satunya, Rida mengimbau agar PLN melakukan aksi korporasi mencari pasar baru. Investasi PLN untuk sementara tak lagi difokuskan untuk membangun pembangkit, tetapi lebih banyak dialokasikan untuk menambah transmisi dan distribusi dalam rangka memperkuat pasar.

"Pasarnya siapa saja? Pertama dengan smelter berpotensi dapat sekitar 5.000 MW hingga 6.000 MW. Lalu, pasokan listrik untuk kawasan industri, pariwisata khusus, perikanan dan kawasan ekonomi khusus yang diperkirakan potensinya ada 16.000 MW lebih besar karena lebih banyak dan itu harus dikejar PLN," terangnya.

Tak hanya itu, Kementerian ESDM pun meminta agar perusahaan pelat merah yang menggunakan pembangkit sendiri agar beralih ke PLN. Selama ini, banyak BUMN yang menggunakan pembangkit sendiri yakni pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), sehingga dengan beralih konsumsi ke PLN tentu biaya listriknya akan lebih murah.

"Saat ini PLN lebih siap untuk memenuhi permintaan termasuk permintaan baru untuk memenuhi kebutuhan listrik. Kalau tak ada pertumbuhan demand, maka akan berpotensi memperparah kondisi, bukan hanya PLN tetapi negara karena BPP (Biaya Pokok Penyediaan) naik. BPP kan berdampak ke subsidi," ucap Rida.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper