Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dicoret dari Daftar Negara Berkembang, RI Bukan Target Utama Trump

Dicoretnya Indonesia dan sejumlah negara lainnya dari daftar SDT akan mempermudah Trump untuk mengenakan bea antidumping.
Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Presiden Amerika Serikat Donald Trump di sela-sela menghadiri KTT G20, di Osaka, Jepang, Jumat (28/6/2019)./Istimewa
Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Presiden Amerika Serikat Donald Trump di sela-sela menghadiri KTT G20, di Osaka, Jepang, Jumat (28/6/2019)./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Keputusan AS menghapus sejumlah negara dalam daftar negara berkembang yang menerima special differential treatment (SDT) , termasuk Indonesia, tidak akan mempersulit posisi Ibu Pertiwi dalam hubungan dagang dengan Negeri Paman Sam. 

Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro menuturkan langkah Trump meninjau ulang daftar SDT atau negara-negara yang mendapat kelonggaran bea antidumping tidak secara langsung menempatkan Indonesia dalam target sasaran.

"Ini akan mempermudah AS untuk mengaplikasikan bea antidumping atau countervailing duties (CVD), sehingga Trump dapat mengenakan tarif kepada lebih banyak barang China," kata Satria, Senin (24/2/2020).

Menurutnya, CVD berbeda dengan Generalized System of Preferences (GSP). CVD adalah bea yang dibebankan pemerintah atau negara pengimpor guna menyeimbangkan harga produk yang sama dari produsen dalam negeri dan harga produk asing berdasarkan subsidi ekspor yang mereka peroleh dari negara asal.

"Adapun, fasilitas GSP yang diberikan secara sepihak oleh AS untuk mempromosikan pertumbuhan di negara berkembang belum dicabut," tegas Satria, Senin (24/2/2020).

Saat ini, ada sekitar sebelas komoditas Indonesia yang sudah terkena CVD a.l. biodiesel, karbon, batang baja, udang beku, Monosodium Glutamate (MSG), serta berbagai jenis polyethlene plastic. Salah satu, komoditas yang baru dikenakan CVD pada tahun lalu adalah menara angin (wind towers).

Sementara itu, terdapat 3.544 produk ekspor Indonesia yang masih menikmati GSP hingga hari ini. Satria mengungkapkan pasar AS masih sangat penting bagi performa neraca dagang Indonesia. Sepanjang 2019, Indonesia menikmati surplus perdagangan sebesar US$8,6 miliar atas AS.

"Surplus ini terbesar jika dibandingkan dengan India dan Uni Eropa," ungkap Satria. Sejak 10 Februari 2020, AS resmi mencoret Indonesia dan sejumlah negara lainnya - termasuk Korea Selatan, Thailand, Singapura dan Vietnam, dari daftar developing and least-developed countries. Dengan kebijakan ini, Indonesia tidak akan lagi berada dalam daftar penerima special differential treatment (SDT) yang tersedia dalam WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper