Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ada Cukai Plastik, Begini Warning untuk Dunia Industri

"Untuk plastik lokal pemerintah bisa menetapkan standar yang sama-sama menguntungkan baik bagi lingkungan, industri, dan menarik konsumsi," tutur Fajar.
Pekerja mengemas biji plastik usai dijemur di salah satu industri pengolahan limbah plastik di Jakarta. Bisnis/Arief Hermawan P
Pekerja mengemas biji plastik usai dijemur di salah satu industri pengolahan limbah plastik di Jakarta. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku industri plastik memastikan kebijakan pengenaan cukai kantong plastik yang telah ditetapkan dalam UU APBN 2020 dan diperluas komponennya oleh DPR akan membuahkan dampak yang buruk bagi keberlangsungan industri dan daya beli di masyarakat.

Dalam hal ini, Kementerian Keuangan telah mencatat potensi penerimaan negara dari cukai kantong plastik akan sebesar Rp1,61 triliun dengan perhitungan tarif Rp30.000 per kilogram (kg) atau Rp200 per lembar.

Dengan adanya tarif itu, pemerintah berharap konsumsi plastik akan berkurang dari 107 juta kg per tahun menjadi 53 juta kg ton per tahun.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Aromatik, Olefin, dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan sebelum kebijakan itu digulirkan pelaku industri sebenarnya sudah banyak memberi masukan. Namun, menurutnya pemerintah sedang ngeyel dengan memilih mengejar Rp1,61 triliun yang justru akan berdampak besar untuk iklim industri.

Salah satunya menurut Fajar seperti yang sudah terjadi pada industri es krim, sabun, shampo, deterjen, dan sejenisnya yang memilih keluar dari Indonesia dan memasarkan sebagai barang jadi di sini.

"Efeknya dari situ maka pabrik akan banyak mengurangi pegawai hingga PHK lalu daya beli turun, pertumbuhan ekonomi 5 persen akan sulit. Potensi lost dari plastik sendiri bisa dihitung dari PPH dan PPN sekitar Rp3 triliun-Rp4 triliun," katanya kepada Bisnis, Kamis (20/2/2020).

Dengan kondisi itu, artinya pasokan dalam negeri akan memberi harga yang lebih tinggi sementara permintaan masih terus ada. Alhasil, permintaan akan diisi oleh produk impor yang menawarkan harga lebih murah.

Fajar pun menyoroti saat ini untuk produk impor plastik jenis prodegradant dan biodegradable yang saat ini malah menikmati diskon cukai. Padahal dua produk itu dipastikan tidak dapat didaur ulang.

Bahkan, pemulung dipastikan tidak akan mau mengambil jenis tersebut karena tidak laku dan akan merusak sampah daur ulang lainnya.

"Negara lain sudah melarang dua jenis itu masuk, negara kita ini malah aneh bin ajaib. Makanya sekali lagi pemerintah itu kalau membuat kebijakan jangan pakai data lama bicarakan dengan industri, teknologi sudah maju isu lingkungan sudah berubah," tegas Fajar.

Sisi lain, di sektor hulu pemerintah sedang menawarkan tax holiday, tax allowance, dan berbagai insentif yang diharapkan menarik investor dan memacu pertumbuhan. Tentu, dengan kebijakan pengenaan cuka ini hal itu menjadi kontradiktif dan membuat investor akan berfikir ulang.

Belum lagi, utilisasi yang dimandatkan oleh Presiden Joko Widodo atas percepatan operasional PT Trans Pacific Petrochemical Indonesia (TPPI) bisa-bisa gagal tidak sesuai harapan karena sulit untuk menjual produknya karena harga lokal yang tidak bersaing.

Selain itu, dalam kebijakan pengenaan cukai plastik mengharuskan pemisahan mesin untuk produk kena cukai dan tidak. Artinya, industri plastik sekarang dalam kondisi yang sudah diberi beban baru dan masih harus merasakan kejatuhan tangga.

Meski pemerintah dalam hal ini pun membebaskan cukai bagi plastik untuk ekspor. Namun, menurut Inaplas, dengan kewajiban pemisahan mesin dan kapasitas ekspor plastik yang masih kecil atau sekitar 10 persen - 20 persen, pengusaha tentu tidak tertarik memacu hal tersebut.

"Jadi lucu kan, ini misal kayak kita mau menjahit kain saja, tapi tidak boleh dengan mesin yang sama untuk baju dan celana. Artinya, sama saja diminta bangun pabrik baru," ujarnya.

Fajar pun merinci dua masukan yang kerap digaungkan pada pemerintah. Pertama, dari sisi lingkungan yang pada tahap ini industri sudah kerap dilibatkan salah satu hasilnya KLHK pun merevisi slogan anti plastik menjadi bijak plastik.

Tak hanya itu, pengelolaan sampah plastik yang tadinya linier juga telah diubah menjadi circular. Di mana setiap pemilik sampah yang sudah mengembangkan pengelolaannya secara mandiri akan diberi insentif dan pembinaan agar terus berlanjut.

"Proyek pencontohan yang pengelolaan sampah juga sudah ada. Jadi lebih baik sekarang ini target itu yang realistis dulu misal 2025 hanya 25 persen sampah yang ke laut lalu 2030 tinggal 5 persen yang ke TPA karena seluruh sampah bisa dikelola oleh sumbernya," ujar Fajar.

Kedua, dari sisi penerimaan. Dalam konteks ini Fajar mengatakan ada dua komponen sumber penerimaan yang malah tidak pernah disentuh pemerintah yakni impor plastik barang jadi dan bahan baku.

Dari perhitungan Inaplas, nilai impor barang jadi saat ini sudah melesat hingga lebih dari US$2 miliar dan bahan baku sekitar US$2 miliar. Artinya, ada sekitar US$4 yang bisa diincar negara alih-alih membebankan pada industri lokal.

Menurut Fajar, pemungutan dari barang impor juga dinilai cukup mudah karena hanya berada di sejumlah pelabuhan. Baginya dengan skema ini industri lokal akan lebih bersaing.

"Untuk plastik lokal pemerintah bisa menetapkan standar yang sama-sama menguntungkan baik bagi lingkungan, industri, dan menarik konsumsi," tutur Fajar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper