Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Hati-hati, Harga Ayam Bisa Bergejolak Lagi

Kebijakan pengendalian populasi ayam yang ekstrem dinilai perlu diambil untuk menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan serta gejolak harga
Pedagang momotong ayam di pasar tradisional Citra Niaga Jombang, Jawa Timur, Selasa (30/4/2019)./ANTARA-Syaiful Arif
Pedagang momotong ayam di pasar tradisional Citra Niaga Jombang, Jawa Timur, Selasa (30/4/2019)./ANTARA-Syaiful Arif

Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan peternak memperkirakan gejolak harga ayam ras pedaging bakal kembali terulang jika melihat potensi produksi dari prognosis Badan Pusat Statistik (BPS).

Kebijakan pengendalian populasi yang ekstrem dinilai perlu diambil untuk menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan. Berdasarkan data BPS, produksi daging ayam sepanjang 2020 diperkirakan akan mencapai 3,66 juta ton dengan konsumsi sebesar 3,44 juta ton. Dengan demikian, terdapat perkiraan surplus sebesar 218.200.

Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) wilayah Jawa Tengah Pardjuni menyebutkan produksi daging ayam berpotensi naik di kisaran 10—12 persen dibandingkan tahun lalu. Kendati demikian, pertumbuhan konsumsi disebutnya tidak akan memberi pengaruh signifikan sebagai imbas dari kondisi perekonomian nasional yang bergerak tumbuh hanya di kisaran 5 persen.

"Kalau tidak ada upaya pengendalian populasi yang ekstrem bisa lebih parah dari tahun lalu karena pertumbuhan konsumsi tidak akan terlalu signifikan," kata Pardjuni kepada Bisnis, Selasa (4/2/2020).

Hal ini setidaknya terlihat dari harga ayam selama bulan pertama 2020 yang kembali berada di bawah acuan. Guna meredam tingginya populasi, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan pun kembali mengeluarkan kebijakan pemangkasan populasi melalui penarikan telur tetas fertil (yang sudah dibuahi) berusia 19 hari sebanyak 13 juta butir selama periode sebelumnya 2–21 Januari.

Pemangkasan sendiri diperkirakan bakal berdampak pada berkurangnya produksi day old chick (DOC) sebesar 37,05 juta ekor pada Februari ini. Kalangan peternak mandiri pun disebut Pardjuni tak bisa berbuat banyak untuk mengantisipasi potensi anjloknya harga livebird akibat pasokan yang melimpah.

Dia mengatakan peternak sejatinya bisa mengurangi jumlah DOC yang akan digemukkan (chick in). Namun hal tersebut dia sebut tak akan banyak berpengaruh karena peternakan terintegrasi biasanya bakal menerima DOC dalam jumlah yang lebih banyak.

"Mengurangi chick in harusnya berpengaruh. Tapi kalau DOC yang dikurangi ini lari ke peternakan integrator tentu tidak mempengaruhi kondisi pasokan," ujarnya. Data neraca ayam pedaging yang dirilis BPS pun sejatinya menunjukkan kondisi surplus yang tak merata.

Surplus di Jawa Barat dan Jawa Tengah diperkirakan bakal menyentuh masing-masing 120.130 ton dan 310.184 ton. Sementara itu, defisit terbesar terjadi di DKI Jakarta sebesar 234.075 ton dan disusul Jawa Timur sebanyak 23.360 ton dan Sumatra Barat sebesar 20.999 ton.

"Sebenarnya sudah ada rumah potong hewan yang mendistribusikan ke luar Jawa, tetapi itu pun masih belum cukup. Sebenarnya permasalahan ini bisa diurai jika pemerintah daerah memperketat perizinan pembukaan peternakan baru, terutama di Jawa Tengah," kata Pardjuni.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper