Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menutup Celah Pelanggaran Perdagangan di Media Sosial

Dalam unggahan sebuah akun milik seseorang di sebuah forum pecinta otomotif di Facebook, Abbi menemukan sebuah suku cadang sepeda motor yang diincarnya, sedang dijual. Maklum, sepeda motornya adalah kendaaraan keluaran lawas, yang mulai sulit dicari suku cadangnya.

Bisnis.com, JAKARTA - Dalam unggahan sebuah akun milik seseorang di sebuah forum pecinta otomotif di Facebook, Abbi menemukan sebuah suku cadang sepeda motor yang diincarnya, sedang dijual. Maklum, sepeda motornya adalah kendaaraan keluaran lawas, yang mulai sulit dicari suku cadangnya.

Tak perlu waktu lama, Abbi pun langsung menghubungi si pemilik akun Facebook dan memulai proses tawar menawar harga, lantaran suku cadang tersbeut hanya tersedia satu buah. “Jual cepat karena butuh uang,” begitu keterangan sang penjual dalam unggahannya di forum tersebut.

 Usai mencapai kesepakatan mengenai harga, pria yang sehari-hari bekerja di perusahaan rintisan itu pun langsung mengirim uang sebagai tanda jadi kepada sang penjual.

Namun naas, usai mengirim uang, kontak sang penjual mendadak tak bisa dihubungi lagi. Ketika dicek melalui media sosial tersebut, akun sang penjual pun tiba-tiba lenyap.

“Ikhlasin aja deh. Ribet juga ngurusnya nanti,” katanya menunjukkan mimik muka pasrah belum lama ini.

Peristiwa tersebut sejatinya acap kali terjadi ketika transaksi daring dilakukan media sosial. Terlebih transaksi melalui media sosial cenderung dilakukan berdasarkan asas saling percaya antara penjual dan pembeli.

Hal itu diakui oleh Koordinator Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)Arief Safari. Beberapa keluhan konsumen mengenai penipuan transaksi melalui media sosial acap kali mampir ke kantornya.

Dia mengatakan, meskipun sama-sama mengandalkan platform elektronik sebagai perantara transaksi, aksi jual-beli melalui media sosial berbeda dibandingkan dengan melalui platform marketplace. Salah satu perbedaannya mengenai perlindungan hak-hak konsumen.

“Kalau melalui marketplace, ada pihak yang bisa dijadikan tujuan untuk mengajukan keluhan atas ketidakpuasan konsumen yakni perusahaan penyelenggaran perdagangan tersebut. Namun kalau melalui media sosial, medium keluhan konsumennya hampir tidak ada,” katanya.

Namun, menurutnya, titik cerah dalam proses perlindungan hukum bagi konsumen yang melakukan transaksi melalui media sosial muncul ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No.80/2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Dalam pasal 34 beleid tersebut, para pedagang daring yang melakukan perdagangan melalui surat tercatat, email, situs online, media elektronik atau saluran komunikasi elektronik lainnya harus memiliki izin usaha. Menurutnya, pedagang di media sosial dapat dikategorikan dalam kategori perdagangan melalui situs online.   

Dengan demikian, menurutnya, para pedagang melalui media sosial dapat dikenai ketentuan yang tercantum dalam pasal 18 PP 80/2019. Di dalam poin tersebut, konsumen dapat melaporkan kerugian yang diderita kepada menteri. Dalam hal ini, menteri yang dimaksud adalah Menteri Perdagangan, yang memiliki Direktorat Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga.

Namun pertanyaan pun muncul ketika sang penjual di media sosial melakukan penawaran secara temporal. Mengingat, acap kali ditemui di media sosial, terdapat penjual barang yang hanya melakukan satu kali transaksi, seperti yang dialami oleh Abbi melalui grup komunitas di Facebook tersebut.

“Untuk kasus itu, seharusnya skema pengaduannya bisa dilakukan dengan menggunakan ketentuan pelaporan melalui Menteri. Namun untuk detailnya seperti apa, hal ini memang perlu diatur lebih jauh lewat peraturan turunan dari PP tersebut,” katanya.

 Pertanyaan mengenai pengamanan transaksi dan perlindungan konsumen dalam transaksi temporal melalui media sosial pun muncul dari Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung.

Dia mengatakan, selama ini perdagangan melalui media sosial sering kali luput atau kurang diberikan skema pengaturan yang jelas oleh pemerintah. Menurutnya, tak hanya masalah pengajuan perizinan, konsep perlindungan konsumen bagi pedagang di media sosial pun belum jelas.

Dia membandingkan dengan perdagangan melalui perusahaan marketplace yang selama ini telah memiliki layanan keluhan konsumen. Hal itu membuat ketentuan yang diatur dalam PP No.80/2019 tentang perlindungan konsumen mudah diterapkan.

“Namun bagaimana dengan perdagangan melalui media sosial, terutama bagi penjual yang melakukan satu kali transaksi. Sulit rasanya untuk diawasi oleh pemerintah. Bagaimana cara membedakannya antara penjual temporal dan tidak secara by system? Kami khawatir justru pelanggaran hak konsumen merebak di perdagangan melalui media sosial,” katanya.

Terlebih dalam poin penjelasan pasal 5 di PP No.80/2019, disebutkan bahwa penjual yang hanya menjual barang dan/atau jasa secara temporal dan tidak komersial tidak termasuk pedagang. Ketentuan itu membuka tafsiran bahwa pedagang yang masuk dalam kategori tersebut tidak perlu mengajukan perizinan usaha dan menyediakan layanan konsumen.

Untuk itu, dia pun meminta adanya ketentuan tambahan yang melingkupi perlindungan konsumen dan segala sesuatu aturan yang setara dengan pedagang yang berdagang melalui marketplace.

“Kalau perlu, perusahaan media sosial seperti Facebook, Instagram dan lain-lain dipanggil untuk ikut merumuskan kebijakan perizinan usaha dan perlindungan konsumen dalam perdagangan di platform mereka. Persoalan ini pun menjadi concern kami dan pemerintah sebenarnya,” katanya.

Menanggapi problematika tersebut, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Suhanto mengatakan seluruh pedagang di media sosial harus memiliki izin berusaha saat melakukan perdagangan secara daring.

Kendati demikian, lanjutnya, para pedagang daring di media sosial yang melakukan perdagangan temporal akan dibebaskan dari kewajiban mengajukan izin usaha. Sementara itu, pedagang temporal di marketplace, secara otomatis akan diminta mengajukan perizinan usaha, lantaran ketentuan itu akan diatur di sistem awal pendaftaran. Dalam hal ini, pengajuan usaha cukup menunjukkan identitas berupa kartu tanda penduduk dari sang penjual.

“Namun bagaimana mekanismenya terkait menjaring pedagang di media sosial ini, kami masih akan bahas dengan pelaku usaha dan kementerian terkait lainnya. Intinya kami ingin mencipakan peraturan yang aplikatif bagi pelaku usaha dan konsumen,” ujarnya dalam  Forum E-Commerce Indonesia 2019, Senin (9/12).

Senada, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan, dan Daya Saing Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Kemenko Perekonomian Rudy Salahuddin mengatakan perdagangan temporal di media sosial akan dibebaskan dari kewajiban perizinan.  Kewajiban perizinan diberlakukan hanya kepada pelaku usaha yang secara rutin berdagang di media sosial dan memiiki intensi mencari keuntungan.

“Secara otomatis, kalau ada penipuan saat perdagangan temporal, secara hukum tidak ada yang melindungi,“ katanya

Kendati demikian, seharusnya pemerintah tetap harus menyediakan payung hukum yang jelas dalam hal perdagangan daring secara temporal di media sosial. Sebab, tanpa ada aturan yang jelas, maka aspek perlindungan terhadap konsumen secara otomatis akan terabaikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper