Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Omnibus Law Harus Perhitungkan Potensi Shortfall Penerimaan

Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Tax Center Ajib Hamdani menyatakan omnibus law akan memangkas waktu menunggu perubahan teknis dari Undang-Undang terkait PPh, PPN, KUP, dan pajak daerah yang akan memakan waktu lama.
Karyawan berkomunikasi di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta, Senin (10/6/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat
Karyawan berkomunikasi di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta, Senin (10/6/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA – Rencana omnibus law, dengan pemangkasan sejumlah regulasi serta standardisasi pajak daerah harus memperhitungkan potensi shortfall jangka panjang.

Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Tax Center Ajib Hamdani menyatakan omnibus law akan memangkas waktu menunggu perubahan teknis dari Undang-Undang terkait PPh, PPN, KUP, dan pajak daerah yang akan memakan waktu lama.

Selaku perwakilan dari pihak pengusaha, dia menyatakan ada beberapa omnibus law harus memberi daya dorong untuk ekonomi. Pertama, omnibus law harus memberi daya dorong yang baik untuk ekonomi.

Kedua, omnibus law harus terukur, jangan sampai terlalu banyak memberikan insentif yang mana dalam jangka pendek justru menjadi shortfall.

“Karena kalau menjadi shortfall akan menjadi bahaya untuk keuangan negara kita. Bagaimana supaya tidak shortfall maka harus ada jalan tengah yaitu ekstensifikasi pajak,” kata Ajib di Kompleks Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rabu (4/12/2019).

Dia memerinci, ekstensifikasi pajak punya dua fungsi yang perlu dioptimalisasi dalam omnibus law. Pertama, fungsi mengamankan keuangan negara. Kedua yaitu membuat keberadilan untuk perlakuan ekonomi dalam level yang sama.

Dia menilai, pajak daerah perlu dicermati karena pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) menjadi salah satu hal yang akan di omnibus law dalam konteks pajak saat ini. Menurutnya, pemerintah pusat bisa mengintervensi bahkan sampai dengan tarif dan aturan di pajak daerah.

“Itu yang harus kita cermati dengan baik, jangan sampai ketika pemerintah pusat dalam konteks presiden membuat aturan di UU Nomor 28/2009 ternyata ini menjadi tulang punggung penerimaan daerah tersebut,” ungkap Ajib.

Dia memberi contoh Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), ketika orang menjual dan membeli tanah, maka yang jual akan membayar PPh 2,5% dan yang beli akan membayar BPHTB. Bunyinya pada UU 28 tahun 2009 tarif BPHTB maksimal 5%. Alhasil, semua daerah dari Aceh sampai Papua Pemda tingkat 2 menyusun aturan maksimal tarif BPHTB 5%.

“Kita bisa bayangkan ini menjadi penopang di Pendapatan Asli Daerah rata-rata 20% sampai 25%. Kalau tarif 5% diturunkan menjadi 2,5% otomatis jadi separuhnya. Artinya mereka [pemerintah daerah] punya potensi shortfall,” pungkasnya.

Dia pun mengimbau pemerintah pusat, khususnya Kementerian Keuangan yang membuat peraturan tetapi harus berhati-hati, serta menggandeng Kementerian Dalam Negeri.

Dengan demikian, jika pada April dan Mei 2020, ketika salah satu omnibus law ditetapkan, yakni pemangkasan tarif BPHTB menjadi 2,5% maka investor pasti akan memberi respons positif.

“Saya setuju dengan itu karena penguatan perekonomiannya jalan. Tapi jangka pendek penerimannya hanya pusat tetapi semua daerah akan rontok,” ujarnya.

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menyatakan pada public hearing atau jejak pendapat publik terkait omnibus law, Ditjen Pajak sudah menerima banyak masukan, khususnya dari perwakilan pengusaha, asosiasi, pengamat dan akademisi.

“Pada prinsipnya mereka menyambut positif substansi Omnibus Law Perpajakan ini,” kata Yoga.

Yoga juga mengamini, para perwakilan yang hadir telah memberikan banyak masukan positif, yang nanti dalam implementasi dan penyusunan ketentuan turunan berupa PP atau PMK dari RUU tentu akan menjadi bahan pertimbangan pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper