Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tekan CAD, Pemerintah Kembali Kaji PMN untuk BUMN Potensial

Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan, kebijakan ini masih berada pada tahap pembahasan. Rencananya, pemerintah akan mengalokasikan dana sebesar Rp1 triliun.
Aktivitas di Sumur Parang-1 yang dioperasikan oleh Pertamina Hulu Energi (PHE) Nunukan Company yang berada sekitar enam kilometer dari Pulau Bunyu, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara , Senin (20/3)./Antara-Pertamina
Aktivitas di Sumur Parang-1 yang dioperasikan oleh Pertamina Hulu Energi (PHE) Nunukan Company yang berada sekitar enam kilometer dari Pulau Bunyu, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara , Senin (20/3)./Antara-Pertamina

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah berupaya memperkuat neraca transaksi berjalan dengan melakukan penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN potensial.

Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan, kebijakan ini masih berada pada tahap pembahasan. Rencananya, pemerintah akan mengalokasikan dana sebesar Rp1 triliun.

Isa mengatakan, dana tersebut diberikan kepada BUMN untuk menekan defisit neraca transaksi berjalan. Hal ini akan dilakukan dengan melakukan terobosan kebijakan dalam meningkatkan kinerja ekspor nasional dan menekan impor, khususnya impor migas.

Ia mengatakan, salah satu kriteria yang harus dipenuhi untuk mendapatkan dana ini adalah perusahaan memiliki kapasitas yang mumpuni untuk tidak mengimpor migas dari negara lain. Selain itu, mereka juga harus dapat memproduksi migas dalam jumlah yang cukup sebagai substitusi impor.

"Kalaupun tidak bisa sepenuhnya tidak impor, mereka bisa menurunkan impornya. Saat ini masih kami kaji lebih jelas perusahaan mana yang akan kami berikan PMN untuk ini [menekan defisit transaksi berjalan]," katanya saat ditemui seusai Rapat Kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Kompleks Parlemen, Jakarta pada Senin (2/12/2019).

Data dari Bank Indonesia (BI) mencatat, defisit transaksi berjalan pada kuartal III 2019 mencapai US$7,7 miliar atau 2,7% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai tersebut membaik dibandingkan dengan kuartal sebelumnya sebanyak US$8,5 miliar atau 3,22% terhadap PDB. Kendati demikian, neraca pembayaran masih tercatat defisit sebesar US$46 juta.

Adapun sepanjang tahun 2018, defisit neraca transaksi berjalan berada pada posisi US$31,1 miliar atau 2,98% dari PDB. Catatan tersebut merupakan defisit terbesar sejak 2015.

Sementara itu, secara terpisah Presiden Joko Widodo menyatakan, masih banyak pihak yang senang mengimpor minyak. Hal ini mengakibatkan neraca transaksi berjalan Indonesia terus mengalami defisit hingga saat ini.

Menurutnya, pemerintah memiliki sejumlah solusi untuk menyelesaikan masalah defisit transaksi berjalan seperti produksi produk subtitusi impor serta kebijakan biofuel.

"Kenapa ini tidak bisa dikerjakan bertahun-tahun? Karena masih banyak pihak yang senang impor minyak. Menyelesaikan masalah dengan impor itu paling mudah. Untungnya juga gede, bisa dibagi ke mana-mana," kata Jokowi menyindir tanpa menyebut pihak yang dimaksud.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper