Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sederet PR Pemerintah Benahi Pelemahan Kinerja Perdagangan

Pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan catatan surplus senilai US$161,3 juta pada neraca perdagangan Oktober 2019. Namun, capaian tersebut dinilai masih belum sehat karena pemerintah belum menuntaskan sejumlah pekerjaan rumah di sektor perdagangan.  
Aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Minggu (9/4)./Antara-Muhammad Adimaja
Aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Minggu (9/4)./Antara-Muhammad Adimaja

Bisnis.com, JAKARTA – Pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan catatan surplus senilai US$161,3 juta pada neraca perdagangan Oktober 2019. Namun, capaian tersebut dinilai masih belum sehat karena pemerintah belum menuntaskan sejumlah pekerjaan rumah di sektor perdagangan.  

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mengatakan kendati neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus pada bulan lalu, Indonesia masih dibayangi oleh kinerja ekspor yang lesu dan impor yang turun cukup dalam sepanjang tahun ini.

Hal tersebut terjadi karena masih besarnya tekanan dari sisi global sehingga menekan ekspor dan menurunnya daya beli di dalam negeri. Tak heran jika neraca perdagangan Januari—Oktober 2019 mencatatkan defisit US$1,79 miliar

“Defisit neraca perdagangan Januari—Oktober 2019 memang menyempit dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Namun, perlu dicermati ada penurunan impor pada sektor-sektor yang penting bagi industri dalam negeri kita,” katanya ketika dihubungi Bisnis.com.

Dia mengatakan impor bahan baku atau penolong dan barang modal yang masih mencatatkan capaian negatif perlu menjadi sorotan pemerintah. Pasalnya, Indonesia masih belum bisa menghadirkan produk substitusi impor yang mumpuni yang bisa dimanfaatkan oleh industri dalam negeri.

Alhasil, menurutnya, turunnya impor bahan baku atau penolong dan barang modal bukan disebabkan oleh kemampuan Indonesia menghadirkan produk subtitusi, melainkan karena adanya pelemahan dari sisi industri.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang Januari—Oktober 2019, impor bahan baku dan penolong mencatatkan penurunan 11,19% secara tahunan menjadi US$104,34 miliar. Penurunan tersebut menjadi yang terbesar dibandingkan kelompok komoditas lain. Sementara itu, pada periode yang sama barang modal turun 4,94% secara tahunan menjadi US$23,45 miliar.

Untuk itu, dia meminta adanya perbaikan daya beli dalam negeri menjadi pekerjaan rumah pertama yang harus dituntaskan pemerintah. Hal itu, menurutnya, dapat menyelamatkan industri dalam negeri dari penurunan produktivitas.

“Penurunan daya beli sangat terasa. Sebab, pekerja formal kita mengalami penurunan yang besar jumlahnya, mereka beralih ke sektor nonformal. Kondisi ini bahaya karena ketika masyarakat kita banyak bekerja di sektor nonformal, maka daya beli masyarakat akan ikut turun,” katanya.

Langkah selanjutnya adalah percepatan pembangunan industri bahan baku dalam negeri. Hal itu dibutuhkan untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku dan penolong, sehingga kinerja perdagangan Indonesia tidak lagi terbebani oleh impor.

Dia mengatakan, setidaknya terdapat tiga industri dasar yang perlu digenjot pembangunannya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dalam negeri. Industri itu adalah besi dan baja, oleokimia dan hortikultura.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Benny Soetrisno mengatakan  pemerintah perlu menelaah lebih jauh terus terjadinya penurunan impor bahan baku atau penolong dan barang modal .Salah satunya mengenai tersedianya produk substitusi impor di dalam negeri.

“Perlu ditelusuri lebih jauh. Apakah bahan baku subtitusi dalam negeri sudah mencukupi untuk industri domestik? Kalau ternyata produk substitusi tersebut masih kurang, tentu kondisi ini akan memberikan tekanan bagi industri kita yang berdampak pada penurunan kinerja industri dan merebaknya PHK,” katanya.

Di sisi lain, dia juga melihat adanya tanda-tanda penurunan daya beli masyarakat melalui merosotnya impor Indonesia. Hal itu tercermin dari turunnya impor barang konsumsi, terutama produk makanan dan minuman primer serta olahan sepanjang tahun ini.

Berdasarkan data BPS, nilai impor mamin primer sepanjang Januari—Oktober 0,13% secara tahunan menjadi US$1,79 miliar dan volume impornya terkoreksi 7,87% menjadi US$1,41 juta ton. Pada periode yang sama nilai impor produk mamin olahan turun 22,37% secara tahunan menjadi US$2,70 miliar, sedangkan volume impornya merosot 63,14% menjadi  1,07 juta ton.

“Penurunan impor tidak sehat apabila disebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat kita. Tanda-tanda penurunan daya beli ini sebenarnya sudah sangat kelihatan ketika periode Lebaran lalu, ketika penjualan mamin dan produk ritel di bawah target,” katanya.

Dia mengatakan, impor akan menjadi sehat apabila disertai oleh peningkatan daya beli masyarakat. Kondisi itu dibutuhkan untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia dari tekanan akibat turunnya aktivitas perdagangan dan ekonomi global, yang berdampak kepada laju pertumbuhan ekspor.

Adapun, tanda-tanda menurunnya impor barang produktif yang disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat tampak dari data indeks pembelian manajer (PMI) manufaktur yang terus terkoreksi. Berdasarkan data IHS Markit, PMI manufaktur Indonesia pada Oktober turun ke level 47,7 dari bulan sebelumnya 49,1.

Sementara itu rata-rata PMI pada kuartal III/2019 mencapai 49,2 atau terendah sejak 2016. IHS Markit pun melaporkan, adanya kenaikan stok barang yang tidak terjual dalam enam bulan terakhir hingga Oktober 2019.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) mengatakan turunnya impor produk mamin salah satunya disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat. Melemahnya daya beli masyarakat menjadi salah satu penyebab, pertumbuhan industri mamin tahun ini meleset dari target yang ditetapkan sebesar 10%.

“Selain daya beli ada faktor lain yang  membuat impor mamin kita turun, yakni perizinan impor yang diperketat dan mungkin produsen dalam negeri yang mulai bisa memenuhi kebutuhan domestik. Namun, sejauh ini produsen dalam negeri belum bisa sepenuhnya mencukupi kebutuhan domestik,” jelasnya.

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan turunnya impor menjadi kabar baik bagi perekonomian Indonesia. Dia mengatakan sejumlah langkah akan diambil pemerintah untuk mengurangi impor salah satunya dengan memberlakukan mandatori B30 dan merevitalisasi pabrik petrokimia.

Namun, ketika dimintai keterangan mengenai turunnya impor akibat melemahya daya beli masyarakat, dia mengaku akan menelaahnya terlebih dahulu.

“Kita lihat dahulu nanti apakah penurunan impor ini juga disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat kita,” katanya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper