Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Hentikan Sementara Ekspor Bijih Nikel

Pemerintah melakukan penghentian sementara ekspor nikel selama satu hingga dua pekan ke depan untuk mengevaluasi lonjakan volume pengapalan komoditas mineral tersebut sejak September.
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah melakukan penghentian sementara ekspor nikel selama satu hingga dua pekan ke depan untuk mengevaluasi lonjakan volume pengapalan komoditas mineral tersebut sejak September.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan penghentian sementara ekspor nikel selama satu hingga dua pekan ke depan itu karena ada lonjakan sebanyak tiga kali lipat ekspor nickel ore atau bijih nikel berkadar rendah dari kuota yang diberikan oleh pemerintah. 

Ekspor bijih nikel biasanya dilakukan hanya oleh 30 kapal dalam sebulan. Namun, setelah diumumkan pelarangan ekspor nikel yang dimulai 1 Januari mendatang pada September lalu, terjadi lonjakan ekspor menjadi rata-rata 100 kapal hingga 130 kapal per bulan. 

"Dari laporan yang kami dapat, ekspor nickel ore itu sudah melampaui kuota sampai tiga kali [lipat] lebih dari kuota yang ada. Biasanya hanya 30 kapal, akibatnya itu merusak semuanya," ujarnya di Kantor Kemenko Maritim dan Investasi, Selasa (29/10/2019). 

Dia berharap agar para penambang dan pemilik smelter mengikuti ketentuan yang ada. Pasalnya, ada indikasi ekspor nikel dilakukan tidak sesuai ketentuan.

Oleh karena itu, saat ini pemerintah tengah melakukan evaluasi mengenai pengapalan itu secara terpadu antara Ditjen bea cukai, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan TNI Angkatan Laut.  Adapun, terdapat tiga pelanggaran diperkirakan dilakukan oleh para oknum itu, yakni mulai dari manipulasi kadar nikel, kuota, dan yang tak punya dan tak bangun smelter juga mengekspor.

"Pemberian kuota sesuai dengan progres smelter.  Yang terjadi ternyata tidak seperti itu, yang tidak punya smelter pun dan yang punya smelter tetapi tidak ada progres juga mengekspor nickel ore yang ternyata kadarnya lebih dari 1,7%. Negara kan dirugikan," katanya. 

Setelah dilakukan evaluasi dan penindakan, pemerintah akan kembali membuka keran ekspor bijih nikel.  

“Kami hentikan sementara, evaluasi semua. Kami juga kerja sama dengan bea cukai. Syukur-syukur bisa 1-2 minggu diselesaikan dan buka lagi untuk bisa ekspor," terang Luhut. 

Luhut pun menegaskan aturan pelarangan ekspor bijih nikel akan tetap dilaksanakan pada 1 Januari 2020 mendatang. 

Sebelumnya, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan sejumlah pengusaha sepakat untuk mempercepat pelarangan ekspor bijih nikel berkadar rendah mulai Selasa (29/10/2019). 

Adapun dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara, pelarangan ekspor bijih nikel akan dimulai pada 1 Januari 2020 dari sebelumnya pada Januari 2022. 

“Atas kesadaran bersama dan diskusi panjang, maka hari ini secara formal kesepakatan yang seharusnya ekspor nickel ore akan selesai di 1 Januari 2020, mulai hari ini sudah disepakati untuk tak lagi melakukan ekspor nickel ore,” ujar Kepala BKPM Bahlil Lahadalia.

Dia juga menyatakan penyerapan akan dilakukan seluruhnya di dalam negeri dengan harga internasional. 

“Harganya harga internasional di Tiongkok dikurangi pajak dan biaya transhipment. Berapa pun nickel ore yang ada, akan ditampung dan diserap oleh industri smelter nikel yang ada,” ucapnya. 

Dia menuturkan selama ini Indonesia mengalami kerugian dalam mengekspor bijih nikel. “Barang jadi kita ekspor nilainya lebih tinggi. Berapa dihitung, berapa ratus kali lipat, berapa pajak yang didapat, berapa negara lain yang bergantung dengan Indonesia. Ini kesepakatan kolektif. Kami tak mengubah aturan 1 Januari 2020,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Yanita Petriella
Editor : Lucky Leonard
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper