Konversi lahan produktif pertanian masih menjadi momok yang menghantui ketahanan pangan Indonesia. Pemerintah secara koordinatif–tak hanya Kementerian Pertanian–diharapkan dapat memberi komitmen politik yang kuat untuk menjamin ketersediaan dan akses pangan bagi setiap penduduk.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Herman Khaeron mencatat rata-rata penyusutan lahan produktif pertanian berkisar di angka 100.000–120.000 hektare (ha) setiap tahunnya.
Penyusutan ini ditengarai dipicu oleh pesatnya pembangunan infrastruktur di daerah sentra produksi pertanian dan lambatnya realisasi penambahan area sawah. Jika laju penyusutan berlanjut, ia menyebutkan Indonesia berpotensi kehilangan sampai 1,2 juta ha hanya dalam kurun waktu 10 tahun.
"Ekstensifikasi sendiri sulit untuk tercapai karena keterbatasan lahan. Setiap tahun setidaknya ada anggaran untuk perluasan lahan pertanian untuk 100.000 hektare, tapi serapannya hanya 50.000 sampai 60.000 hektare," ujar Herman dalam acara diskusi di Jakarta, Senin (21/10/2019).
Riset oleh Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) menunjukkan selama periode 2005–2014 setidaknya sekitar 489 ha lahan pertanian diambil alih untuk pembangunan 74,7 kilometer (km) jalan tol di Pulau Jawa. Selama periode ini, 5.228 ha lahan pertanian juga dikonversi sebagai dampak pengembangan jalan tol.
Alih fungsi lahan pertanian tak sampai di situ. Selama 2015–2018, lahan pertanian yang dialihkan untuk jalan tol diperkirakan mencapai 4.135 ha untuk jalan tol sepanjang 631,3 km dan 44.192 ha untuk pintu gerbang tol.
Sementara pada 2019, untuk pembangunan jalan tol sepanjang 208,8 km, estimasi alih fungsi lahan pertanian tercatat mencapai 1.386 ha dan 14.618 ha digunakan untuk pembangunan pintu gerbang tol.
Herman juga mengemukakan dengan lahan baku sawah yang ditetapkan di angka 7,1 juta ha pun ketahanan pangan nasional belum berada di posisi yang aman. Berangkat dari asumsi produktivitas padi sebesar 5 ton per ha per tahun dan indeks penanaman sebanyak dua kali, Herman mengestimasi produksi beras Indonesia hanya berada di angka 35 juta ton per tahun.
Di sisi lain, tingkat konsumsi nasional berada di kisaran 33 juta ton yang berarti neraca beras surplus 2 juta ton.
"Konsumsi beras per kapita sekitar 124 kilogram per tahun, kurang lebih 33 juta ton jika diakumulasi. Jika net produksi beras per tahun 35 juta ton, selisihnya 2 juta ton. Ini tidak aman karena minimal surplus 10 juta ton untuk bisa disebut pangan kita dalam kondisi tahan dan berdaulat," paparnya.
Senada dengan Herman, Guru Besar Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar mengemukakan konversi lahan merupakan ancaman yang nyata dalam ketahanan pangan.
Ia mencatat luas rata-rata lahan pertanian per kapita cenderung turun dari yang mulanya 0,3 ha per kapita menjadi 0,25 ha per kapita. Angka ini bahkan disebutnya lebih rendah dibanding Jepang yang kepemilikan lahan pertanian per kapita mencapai 1 ha.
Salah satu penyebab turunnya rata-rata kepemilikan lahan ini, ujar Hermanto, adalah adanya fragmentasi lahan akibat sistem pewarisan di Tanah Air. Kondisi ini berpotensi memicu lahirnya konversi yang lebih luas berkurangnya produktivitas pertanian.
"Di Jepang terdapat hukum yang membatasi fragmentasi dalam pewarisan lahan pertanian. Sementara di Indonesia, kepemilikan 5 hektare lahan oleh satu orang bisa beralih menjadi milik lima orang dengan masing-masing menguasai 1 hektare. Tidak semua ahli waris ini melanjutkan lahan tersebut untuk pertanian sehingga produktivitasnya menurun," terang Hermanto.
Luas lahan pertanian yang terbatas ini pun disebutnya menghambat mekanisasi yang kini tengah digencarkan pemerintah.
Hermanto menyebutkan pertanian dalam negeri kesulitan mencapai efisiensi dengan alat pertanian dan mekanisasi lantaran lahan yang dikelola tidak terkonsentrasi pada satu wilayah yang luas seperti di Australia atau Amerika Serikat.
"Pemerintah memerlukan aturan yang tegas untuk mencegah fragmentasi ini. Selain itu, peran pemerintah daerah dalam mengendalikan lahan pertanian juga penting karena tugas ini bukan saja tanggung jawab pemerintah pusat," imbuhnya.
DIVERSIFIKASI PANGAN
Kepala Bidang Ketersediaan Pangan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Rachmi Widiriani mengemukakan ketahanan pangan nasional tak bisa hanya diukur berdasarkan produksi satu jenis komoditas. Ia menuturkan selain menjamin akses kepada pangan pokok terjaga, pihaknya juga terus mengkampanyekan diversifikasi pangan demi mencapai ketahanan gizi.
Jika ditelisik, Rachmi mengemukakan sebagian besar konsumsi kalori per kapita per hari didominasi oleh padi-padian serta minyak dan lemak. Sementara untuk konsumsi sayur, buah, dan pangan hewani tidak sebanding dengan persentase dua kelompok pangan tersebut.
"Kita juga harus sosialisasikan kepada masyarakat bahwa ketahanan pangan itu tidak boleh hanya mengandalkan dari bahan pangan tertentu dengan alasan kesehatan, bukan untuk alasan kemampuan produksi," terang Rachmi.
Pengamat Pertanian Khudori pun menyebutkan bahwa diversifikasi pangan merupakan suatu keniscayaan. Kendati demikian, ia melihat arah diversifikasi yang selama ini berkembang justru salah karena mengarah pada panganan pokok yang bahan bakunya tidak diproduksi di dalam negeri yakni gandum.
"Diversifikasi pangan ini tidak bisa tidak, namun sejauh ini langkahnya salah. Konsumsi terbesar setelah beras itu justru pada gandum yang kita impor lebih dari 10 juta ton setiap tahunnya," kata Khudori.
Ia pun mengharapkan pemerintah ke depan tak terjebak pada produksi komoditas tertentu seperti padi, jagung, dan kedelai. Menurutnya, pemerintah perlu meletakkan fokus pada potensi pangan berbasis lokal seperti sagu, sorghum, dan ubi-ubian.
"Ketergantungan masyarakat terhadap padi hanya 50% pada 1950-an karena pangan lebih beragam. Kalau berbasis panganan lokal tidak akan menjadi masalah dan justru bisa jadi solusi," katanya.