Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Incar Pertumbuhan Ekonomi 2020 sebesar 5,5 Persen

Meski mematok target yang lebih tinggi dibandingkan dengan lembaga internasional seperti IMF dan World Bank yang memproyeksikan pertumbuhan pada angka 5,1%, pemerintah sendiri mencatat ada beberapa risiko yang masih perlu dihadapi ke depan.
Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi 5,17% selama 2018. Data: BPS
Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi 5,17% selama 2018. Data: BPS

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2020 akan mencapai 5,2% hingga 5,5%.

Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden No. 61/2019 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2020.

Meski mematok target yang lebih tinggi dibandingkan dengan lembaga internasional seperti IMF dan World Bank yang memproyeksikan pertumbuhan pada angka 5,1%, pemerintah sendiri mencatat ada beberapa risiko yang masih perlu dihadapi ke depan.

Pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksikan masih relatif rendah, diproyeksikan hanya 3,6% pada 2020. Hal ini menyebabkan stagnasi pertumbuhan volume perdagangan dan harga komoditas dunia pada tahun depan.

Dua komoditas ekspor Indonesia yakni CPO dan batu bara diproyeksikan mengalami stagnasi. Stagnasi harga CO bakal dipengaruhi oleh berlebihnya pasokan di dunia yang berjalan beriringan dengan turunnya permintaan negara Eropa atas CPO serta adanya penerapan tarif atas CPO dari India.

Ketidakpastian perang dagang juga bakal memperlambat investasi, mengganggu supply chain, serta memperlambat produktivitas pada level global.

"Selain isu perang dagang, beberapa faktor lain seperti volatilitas ekonomi di beberapa negara berkembang, kebijakan fiskal di Italia, tidak tercapainya kesepakatan Brexit, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi China, dapat memicu meningkatnya sentimen negatif investor ke depan," ujar pemerintah dalam RKP yang dikutip Bisnis.com, Selasa (22/10/2019).

Selain tantangan dan risiko global, masih ada beberapa faktor dari level domestik yang masih membayangi perekonomian Indonesia pada 2020.

Pertama, pemerintah mencatat pertumbuhan ekonomi hingga saat ini masih stagnan karena menurunnya pertumbuhan ekonomi dari sektor potensial serta tidak berjalannya transformasi struktural.

Hal ini disebabkan oleh regulasi yang tumpang tindih, penerimaan pajak yang belum memadai, kualitas infrastruktur energi dan konektivitas yang masih rendah, rendahnya kualitas SDM dan produktivitas tenaga kerja, serta intermediasi sektor keuangan yang rendah dan pasar keuangan yang dangkal.

Kedua, defisit neraca trasaksi berjalan atau current acoount deficit (CAD) yang meningkat timbul dari tidak berkembangnya industri manufaktur. Hal ini pada akhirnya turut memberikan dampak pada kinerja ekspor.

"Ekspor Indonesia masih didominasi oleh ekspor komoditas, tidak berbeda dengan periode 40 tahun yang lalu. Defisit transaksi berjalan juga dipicu oleh defisit neraca migas dan neraca jasa," ujar pemerintah.

Ketiga, tahun transisi pemerintah diproyeksikan akan memperlambat realisasi belanja pemerintah pada masa awal pemerintahan.

Terakhir, kebijakan moneter dan likuiditas perbankan masih ketat. Peningkatan suku bunga dan normalisasi kebijakan moneter AS berpotensi memberikan dampak pada perlambatan investasi.

Selain itu, pertumbuhan kredit perbankan masih lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sehingga memperketat likuiditas perbankan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Muhamad Wildan
Editor : Achmad Aris
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper