Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KINERJA DAGANG RI: Dampak terhadap Pertumbuhan Ekonomi Makin Terlihat

Kinerja perdagangan Indonesia yang kembali memburuk membuat ancaman terhadap pelambatan ekonomi makin kuat.
Petugas dibantu alat berat memindahan kontainer dari kapal ke atas truk pengangkut di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Selasa (17/5). JIBI/Bisnis/Dwi Prasetya
Petugas dibantu alat berat memindahan kontainer dari kapal ke atas truk pengangkut di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Selasa (17/5). JIBI/Bisnis/Dwi Prasetya

Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja perdagangan Indonesia yang kembali memburuk membuat ancaman terhadap pelambatan ekonomi makin kuat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) neraca perdagangan September 2019 mencatatkan defisit sebesar US$160 juta. Hal itu disebabkan oleh ekspor September yang turun 1,29% dari bulan sebelumnya menjadi US$14,10 miliar dan impor yang tumbuh. Sementara itu, impor tumbuh 0,63% dari bulan sebelumnya menjadi US$14,26 miliar.

Catatan itu membuat neraca perdagangan Indonesia sepanjang Januari—September 2019 masih mencatatkan defisit US$1,95 miliar.  

Adapun, ekspor pada September mengalami penurunan cukup tajam secara tahunan, yakni turun 5,74%. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan penyebab terbesar lemahnya kinerja ekspor adalah anjloknya harga sejumlah komoditas andalan ekspor Indonesia.

“Kinerja ekspor kita secara umum memang terbebani oleh kondisi ekonomi global yang melemah. Namun secara spesifik, ekspor kita tertekan karena harga dua komoditas ekspor utama kita yakni batu bara dan minyak kelapa sawit terus mengalami kejatuhan,” ujarnya, Selasa (15/10/2019).

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan kinerja perdagang Indonesia tersebut makin menguatkan indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi RI bakal melambat pada tahun ini. Hal itu tampak dari impor migas yang masih tinggi, sedangkan kinerja ekspor secara total maupun nonmigas masih terus mencatatkan tren negatif.

“Data BPS juga menunjukkan impor nonmigas terbesar ada pada barang konsumsi. Sementara itu, impor bahan baku penolong justru terus terkoreksi. Artinya ada tekanan terhadap produtivitas industri dalam negeri yang tentu berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi kita,” jelasnya, ketika dihubungi Bisnis.com.

Adapun, berdasarkan data BPS, pada September 2019 impor barang konsumsi tumbuh 6,09% secara tahunan menjadi US$1,41 miliar. Pada periode yang sama, impor barang modal juga tumbuh 8,91% secara tahunan menjadi US$2,59 miliar. Sebaliknya, impor bahan baku penolong turun 5,91% menjadi US$10,26 miliar.

Sementara itu, sepanjang Januari-September 2019 impor bahan baku penolong turun 10,22% menjadi US$93,45 miliar. Penurunan impor di sektor tersebut menjadi yang terbesar dibandingkan golongan barang lain.

Shinta melanjutkan meningkatnya impor barang konsumsi pada akhirnya akan menekan kinerja industri domestik. Tekanan lain pun tampak dari turunnya impor bahan baku dan penolong yang menjadi elemen utama industri untuk memproduksi barang & jasa

“Apabila impor bahan baku terus turun, lalu produktivitas terus tertekan, dan impor produk konsumsi justru makin tinggi, maka efeknya pelaku usaha dalam negeri akan memiliki risiko gagal bayar atau pailit yang juga makin tinggi,”  lanjutnya.

Dia melanjutkan pelaku usaha meyakini defisit neraca perdagangan terjadi bukan semata-mata karena efek perlambatan pertumbuhan dan perdagangan dunia. Menurutnya, tekanan terhadap kinerja dagang juga disebabkan oleh faktor domestik.

“Sejumlah beban terkait tenaga kerja, procurement impor, dan biaya energi seharusnya bisa diefisiensikan untuk merelaksasi tekanan terhadap produktivitas industri domestik. Dengan demikian, kinerja ekspor dapat tumbuh dan impor dengan sendirinya hanya untuk kegiatan produktif,” jelasnya.

Senada, Ketua Komite Tetap Bidang Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Joewono menyebutkan defisit neraca perdagangan yang terjadi sepanjang tahun ini bakal menjadi beban bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi RI tahun ini sulit untuk menembus 5,0% lantaran industri manufaktur terus tertekan oleh penurunan impor bahan baku.

“Pemerintah terlalu fokus menekan impor, yang ternyata salah sasaran. Impor bahan baku dan penolong yang turun tajam tapi barang konsumsi masih bisa tumbuh. Tentu ini menjadi kendala bagi industri manufaktur kita yang menjadi salah satu elemen utama pendorong pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.

Untuk itu dia meminta pemerintah lebih bekerja keras untuk memacu ekspor. Dia menilai terdapat empat komoditas yang dapat dipacu ekspornya guna mendukung kinerja dagang Indonesia. Keempat komoditas itu adalah bahan makanan, elektronik, fesyen dan produk dekorasi rumah.

Dia menilai, apabila pemerintah tidak segera mengambil langkah cepat dan strategis Indonesia bisa terperangkap dalam jurang resesi yang terjadi di negara-negara lain, pada tahun-tahun mendatang.

Sementara itu, ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan turunnya impor bahan baku dan penolong serta masih lemahnya ekspor manufaktur bakal menjadi tekanan besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pasalnya, dengan turunnya impor bahan baku dan penolong menandakan sulitnya industri manufaktur berekspansi.

“Pertumbuhan ekonomi sangat bergantung sekali terhadap kinerja industri dan ekspor. Ketika kinerja keduanya melambat atau tertekan seperti yang terjadi saat ini maka saya perkirakan pertumbuhan ekonomi sulit untuk menembus 5,0% tahun ini,” jelasnya.

Dia mengatakan, ketika laju impor bahan baku terus melambat dan ekspor manufaktur tidak mengalami pertumbuhan signfikan maka dapat diartikan industri dalam negeri masih menghadapi tekanan yang besar.

Untuk itu dia meminta agar pemerintah memetakan kembali kebijakannya di bidang industri dan perdagangan. Pasalnya, menurutnya selama ini pemerintah belum menujukkan kebijakan yang membuat industri, terutama berbasis ekspor dapat melakukan ekspansi secara maksimal.

“Apalagi terkait pembiayaan bagi industri. Pembiayaan ekspor kita belum maksimal. Di sisi lain pelaku usaha swasta kita juga ruangnya terbatas untuk menerbitkan obligasi karena pasar obligasi kita lebih dari 80% dikuasai pemerintah. Maka tidak heran jika ekspansi manufaktur kita terbatas sehingga impor bahan baku turun, impor konsumsi terus melaju dan ekspor manufaktur terkoreksi,” jelasnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan pemerintah sedang berupaya menggenjot kinerja sektor industri dan perdagangan nasional, terutama ekspor. Hal itu dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap 16 peraturan menteri perdagangan yang dinilai memberatkan bagi industri.

“Untuk jangka sangat pendek, yakni sampai akhir tahun nanti, kami sedang merumuskan perubahan peraturan yang berkaitan dengan ekspor dan impor. Intinya ada relaksasi bagi dunia usaha dalam negeri untuk berekspansi lebih besar,” katanya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper