Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Neraca Perdagangan September 2019 Alami Defisit US$160,5 Juta

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, neraca perdagangan Januari-September US$124,1 miliar masih mengalami defisit US$1,9 miliar.
Ilustrasi/Bisnis.com
Ilustrasi/Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kinerja neraca perdagangan September 2019 mengalami defisit US$160,5 juta dibandingkan dengan surplus pada bulan sebelumnya US$85,1 Juta.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, neraca perdagangan Januari-September US$124,1 miliar masih mengalami defisit US$1,9 miliar. "Defisit ini dibandingkan dengan periode sama 2018, masih lebih rendah. Jadi defisit relatif menyusut," katanya saat jumpa pers, Selasa (15/10/2019).

Menurutnya, ada banyak perlambatan global yang menyebabkan defisit. Dia memerinci bahwa neraca perdagangan Januari-September 2019 mencatatkan total impor US$126, miliar, sedangkan untuk ekspor tercatat US$124,1 miliar sehingga neraca perdagangan Januari-September 2019 tercatat defisit US$1,95 miliar.

Angka impor September 2019 tercatat mengalami kenaikan secara (mtm) sebesar US$14,26 miliar, atau naik 0,63%. BPS memerinci, impor September 2019 ini tercatat mengalami penurunan dari September 2018 sebesar 2,41%. Dia memerinci angka ini secara (mtm) untuk barang konsumsi naik 3,13%, dan secara (yoy) naik 6,09%.

Sementara itu untuk bahan baku atau penolong, angka impor turun 0,70%, dan secara (yoy) bisa mengalami penurunan 5,91%. Untuk barang modal tercatat naik 4,80% atau secara (yoy) naik 8,91% sebesar US$2,59%.

“Beberapa komoditas yang naik misalnya; serelia, kapal laut dan bangunan terapung, kendaraan dan bagiannya, bahan kimia organik, dan kapas,” jelas Suhariyanto.

Dia memerinci, untuk impor yang mengalamin penurunan pada September 2019 antara lain; binatang hidup, benda dari besi dan baja, tembaga, pesawat dan bagiannya, serta gula dan kembang gula. Adapun negara yang masih tinggi menjadi sumber impor Indonesia adalah; China, Ukraina, dan Korea Selatan. Beberapa negara yang impornya turun untuk Indonesia adalah Amerika Serikat dan Jepang.

Secara kumulatif, Januari-September 2019, total impor tercatat US$126,12 miliar atau jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya ada penurunan 9,12%. Adapun peran untuk golongan bahan baku penolong dalam impor tercatat 74,10%.

Untuk ekspor pada September 2019 menurun 1,29% menjadi US$,10 miliar dibandingkan dengan Agustus 2019. Suhariyanto menyatakan dibandingkan dengan September 2018, penurunan ekspor September 2019 ini tercatat sebesar 5,74%. Dia memerinci untuk ekspor nonmigas dari Agustus ke September turun 1,03%, sedangkan untuk ekspor migas turun 5,17%.

“Untuk ekspor menurun utamanya komoditas perhiasan seperti permata, lalu kendaraan bermotor, pakaian jadi bukan rajutan,” sambungnya.

Adapun secara kumulatif dari Januari-September 2018, total ekspor mengalami penurunan 8,0% (yoy) dari Januari-September 2018. Adapun Agustus – September, ekspor tercatat US$124,17 miliar. Dia menyatakan, ekspor migas secara (mtm) turun 5,17% sedangkan secara (yoy), turun 37,13%.

Jika dibandingkan dengan Agustus 2019, nilai ekspor pertanian turun 5,27% (mtm), dan secara (yoy) turun 12,14%. Untuk industri, secara (mtm), turun 3.51% dan secara (yoy) turun 0,44%. Penurunan terjadi untuk komoditas ekspor logam dasar mulia, pakaian jada dari tekstil, peralatan listrik, dan kendaraan bermotor roda empat.

Untuk industri pengolahan, ekspor secara (mtm) turun, 3,51%, dan secara (yoy) turun 0,44%. Untuk ekspor pertambangan dan lainnya cenderung naik menjadi 13,03% tetapi secara (yoy) masih mengalami penurunan sekitar 14,82%.

Sebelumnya, sejumlah ekonom masih memprediksi neraca perdagangan September 2019 akan mencatatkan defisit akibat melemahnya permintaan dari China sebagai dampak perang dagang dan peraturan relaksasi impor barang modal dari Kementerian Perdagangan.

Menurut ekonom Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja, kemungkinan neraca perdagangan September 2019 masih defisit karena perang dagang. Dia menilai, ada pelemahan pertumbuhan ekonomi China yang terlihat dari turunnya konsumsi dan permintaan ekspor dari Indonesia.

“Ada pertumbuhan ekonomi yang melambat di China, yang menyebabkan ada dampak ke permintaan terhadap komoditas,” ujar Enrico, Senin (14/10/2019).

Dia menilai, prediksi defisit itu masih cukup kecil, yakni di bawah US$100 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper