Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BPJS Watch : Tunggakan BPJS Kesehatan ke Rumah Sakit Tembus Rp13 Triliun!

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menjelaskan jumlah tagihan klaim yang harus dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada seluruh rumah sakit mitranya bertambah sekitar Rp2 triliun setiap bulan.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar (dari kanan), Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi, Staf Khusus Menteri Sosial, Febri Hendri Antoni Arief dan Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma'ruf memberikan penjelasan pada konferensi pers mengenai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Non Basis Data Terpadu (BDT), di Jakarta, Rabu (31/7/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar (dari kanan), Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi, Staf Khusus Menteri Sosial, Febri Hendri Antoni Arief dan Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma'ruf memberikan penjelasan pada konferensi pers mengenai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Non Basis Data Terpadu (BDT), di Jakarta, Rabu (31/7/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA – BPJS Watch menyebutkan jumlah tagihan klaim Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang harus dibayarkan kepada seluruh rumah sakit mitranya per 30 Agustus 2019 mencapai Rp13 triliun.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menjelaskan jumlah tagihan klaim yang harus dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada seluruh rumah sakit mitranya bertambah sekitar Rp2 triliun setiap bulan.

Hingga saat ini, tercatat lebih dari 2.400 unit rumah sakit di seluruh Indonesia yang menjadi mitra BPJS Kesehatan sebagai fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKTRL) untuk program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).

“[Jumlah] tagihan BPJS Kesehatan ke rumah sakit [mitra] per 30 April 2019 itu [mencapai] Rp5,3 triliun, per 30 Juni 2019 [mencapai] Rp9,23 triliun, dan terakhir per 30 Agustus 2019 [mencapai] Rp13 triliun. Tagihan yang belum dibayar ini membuat rumah sakit kesulitan dan cashflow-nya terganggu,” katanya kepada Bisnis.com, Senin (23/9/2019).

Sebagai catatan, jumlah tersebut belum termasuk denda sebesar 1 persen dari nilai tagihan klaim yang harus dibayarkan oleh BPJS kesehatan kepada rumah sakit mitranya.

Timboel menjelaskan, tagihan klaim yang tak kunjung dibayar oleh BPJS Kesehatan membuat kegiatan operasional di beberapa rumah sakit terganggu.

Dia menyebutkan sejumlah rumah sakit tak lagi mendapatkan pasokan obat dari perusahaan farmasi lantaran terus menerus menunggak pembayaran.

Dia mencontohkan ada rumah sakit yang pasiennya diminta mencari obat di luar karena pengiriman obatnya dihentikan oleh perusahaan farmasi karena utangnya belum dibayar.

"Ini adalah fraud, seharusnya rumah sakit tak boleh seperti itu, tapi kita juga perlu melihat fakta bahwa rumah sakit tak punya kemampuan membayar karena tagihan klaim mereka tak juga dibayar,” paparnya.

Lebih lanjut, Timboel mengatakan program Supply Chain Financing (SCF) yang selama ini dijadikan oleh BPJS Kesehatan sebagai solusi terlambatnya pembayaran tagihan klaim tak banyak membantu.

Alasannya, tak semua rumah sakit mitra BPJS Kesehatan mendapatkan akses terhadap program pinjaman lunak yang melibatkan sekitar 15 bank karena tak berhasil memenuhi persyaratan yang diminta.

“Program ini [SCF] kan berupa pinjaman, bank pastinya punya kriteria, punya ketentuan untuk pencarian [dana] juga. Tak semua [rumah sakit] termasuk dalam kriteria tersebut, tak banyak berkontribusi,” tegas dia.

Adapun, sebagai solusi atas permasalahan tagihan klaim rumah sakit mitra yang tak kunjung dibayarkan oleh BPJS Kesehatan, Timboel mendesak pemerintah agar kembali memberikan bantuan berupa dana talangan.

Pada 2018, pemerintah tercatat memberikan dana talangan sebesar Rp10,25 kepada BPJS Kesehatan untuk menambal defisit keuangan lantaran bengkaknya tagihan klaim di rumah sakit mitranya.

“Seharusnya berikan kembali dana talangan yang besarnya sekitar Rp20 triliun karena melihat jumlah tagihan klaim saat ini sudah mencapai Rp13 triliun. Belum lagi ditambah tiga bulan kedepan,” ujarnya.

Selain itu, menurut Timboel pemerintah juga dinilai lambat dalam memutuskan kenaikan iuran bagi peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Adapun, nominal kenaikan iuran bagi peserta PBI mengalami kenaikan dari Rp23.000 per bulan menjadi Rp42.000 per bulan.

Timboel menyebut rencana kenaikan iuran peserta PBI seharusnya tak perlu terpengaruh oleh wacana kenaikan iuran peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) atau mandiri yang rencananya akan diberlakukan mulai 1 Januari 2020.

Kenaikan iuran bagi peserta PBI sudah seharusnya bisa diberlakukan sejak bulan lalu untuk membantu BPJS Kesehatan membayar tagihan klaim ke rumah sakit mitranya.

“Seharusnya sejak Agustus [2019] sudah bisa diberlakukan, ada kenaikan iuran sebesar Rp19.000 per peserta. Selisih sebesar Rp19.000 dikalikan jumlah keseluruhan peserta PBI pastinya bisa membantu mengatasi masalah tagihan klaim yang menumpuk berbulan-bulan,” pungkasnya.

Perlu diketahui, dari 223 juta peserta JKN-KIS, hampir separuhnya dibiayai oleh pemerintah atau tercatat sebagai peserta PBI. Tepatnya, ada 98,6 juta penduduk miskin dan tidak mampu yang iuran JKN-KIS-nya ditanggung lewat APBN dan 37,3 penduduk yang ditanggung lewat APBN. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rezha Hadyan
Editor : Hendra Wibawa
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper