Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menimbang Pajak atas Kekayaan di Indonesia

Walau relevan dengan kondisi ekonomi yang melemah, jargon daya saing berpotensi mendorong keberpihakan bagi pemilik modal terutama dari individu kaya (high net worth individual/HNWI). Prioritas tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi dapat berdampak bagi terbentuknya sistem pajak yang kurang adil. Lantas bagaimana Indonesia harus bersikap?
Dea Yustisia, Peneliti Pajak DDTC Fiscal Research
Dea Yustisia, Peneliti Pajak DDTC Fiscal Research

Dewasa ini arus utama sistem pajak di berbagai negara agaknya telah mengesampingkan isu mengenai ketimpangan dan redistribusi ekonomi. Tren reformasi pajak justru didominasi oleh jargon daya saing.

Walau relevan dengan kondisi ekonomi yang melemah, jargon daya saing berpotensi mendorong keberpihakan bagi pemilik modal terutama dari individu kaya (high net worth individual/HNWI). Prioritas tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi dapat berdampak bagi terbentuknya sistem pajak yang kurang adil. Lantas bagaimana Indonesia harus bersikap?

KETIMPANGAN KEKAYAAN

Dari sudut pandang ekonomi, ketimpangan dapat dilihat dari sisi penghasilan, kekayaan, serta akumulasi harta antargenerasi. Ketimpangan penghasilan di Indonesia sebenarnya tidak terlalu bermasalah. Selama 5 tahun terakhir indeks gini di Indonesia menurun dari 0,41 (2014) menjadi 0,38 (2018). Relatif rendah dibandingkan dengan emerging economies lain seperti Tiongkok dan Brasil.

Persoalannya justru terletak pada ketimpangan penguasaan aset dan kekayaan. Credit Suisse (2018) mengestimasi koefisien gini kekayaan di Indonesia yang mencapai 0,84 pada 2018. Konsentrasi mayoritas dana perbankan di sebagian kecil rekening, skema bank tanah dan penguasaan properti, hingga jumlah HNWI di Indonesia yang meningkat cepat sepertinya juga dapat menjadi indikasi.

Selain itu, studi Pikkety (2009) mengonfirmasi warisan sebagai salah satu kontributor utama ketimpangan kepemilikan aset kekayaan. Aset yang dimiliki oleh kelompok keluarga sangat kaya terus menerus terakumulasi dari generasi ke generasi. Akibatnya, akumulasi kekayaan antargenerasi tersebut berakibat pada timpangnya kesempatan (unequal opportunity) antarlapisan ekonomi masyarakat.

Dalam hal ini, kebijakan pajak bisa menjadi solusi. Caranya bervariasi mulai dari sistem tarif pajak penghasilan (PPh) yang progresif, keringanan pajak bagi kelompok di bawah penghasilan tertentu, hingga penerapan pajak kekayaan.

Khusus mengenai pajak kekayaan, umumnya diklasifikasikan menjadi tiga jenis (Brauninger, 2012). Pertama, pajak atas pengendalian atau kepemilikan aset. Contohnya, pajak kekayaan bersih (net wealth tax) yang dikenakan secara rutin (Rudnick dan Gordon, 1996).

Kedua, pengenaan pajak atas penyerahan harta kepemilikan kepada pihak lain tanpa adanya suatu transaksi ekonomi, seperti pajak warisan dan hibah. Menurut survei IBFD (2019), setidaknya 77 negara di dunia telah menerapkan pajak warisan.

Terakhir, pajak atas transaksi perpindahan kepemilikan yang memberikan tambahan kemampuan ekonomis. Basis pajak umumnya dihitung berdasarkan selisih antara harga penjualan dikurangi harga perolehan (capital gain).

PAJAK KEKAYAAN

Lalu bagaimana prospek pajak kekayaan di Indonesia? Ada beberapa hal yang bisa dilihat untuk menilai prospek tersebut. Pertama, pajak kekayaan perlu dipahami sebagai upaya mewujudkan keadilan sosial di Indonesia (Kristiaji, 2018). Perluasan basis pajak melalui objek berbasis harta juga harus dipandang sebagai alat mengurangi ketimpangan dan tidak sekadar untuk tujuan penerimaan.

Kedua, pajak berbasis kekayaan merupakan jawaban atas belum optimalnya pemungutan PPh Orang Pribadi (OP) di Indonesia. Saat ini, kontribusi penerimaan dari PPh OP di Indonesia masih tergolong rendah, utamanya dari individu non-karyawan.

Selama 5 tahun terakhir, PPh Pasal 25/29 OP hanya menyumbang kurang dari 1% total penerimaan pajak. Lemahnya penerimaan PPh 25/29 OP menunjukkan penghasilan dari pemilik usaha, profesi tertentu, serta orang kaya belum dipajaki secara optimal. Penghasilan yang belum dipajaki tersebut kemudian terakumulasi pada aset maupun kekayaan.

Ketiga, pengenaan pajak kekayaan memiliki prospek positif jika suatu negara memiliki pengalaman dan keberhasilan dalam memungut pajak yang berbasis kepemilikan harta (Oh dan Zolt, 2018). Amnesti pajak 2016-2017 pada dasarnya telah memberikan pengalaman berharga bagi Indonesia terutama dalam memberikan gambaran, tantangan, serta skema administrasi pajak yang berbasis pengungkapan harta.

Keempat, ekosistem yang mendukung efektivitas pemungutan pajak kekayaan. Adanya akses informasi perbankan, kerja sama antarinstansi pemerintah dalam pertukaran data, automatic exchange of information di tingkat global, dan digitalisasi administrasi pajak merupakan hal-hal yang kini telah tersedia (Vissaro, 2019).

Sebagai penutup, pemilihan jenis pajak kekayaan yang ideal bagi Indonesia perlu diselaraskan dengan apa yang menjadi sasaran pemerintah dalam jangka pendek-menengah. Di atas semua itu, kemauan politik dan kehati-hatian dalam desain kebijakan merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper