Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengapa Panel Surya Masih Sulit Digunakan pada Hunian?

Beberapa tahun mendatang penggunaan PLTS atap baru akan digunakan secara massal oleh para pengembang.
Pekerja membersihkan panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di pondok pesantren Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Wali Barokah di Kota Kediri, Jawa Timur, Kamis (16/5/2019). Pembangunan PLTS senilai Rp10 miliar dengan panel surya seluas 41 meter x 40 meter tersebut mampu menghasilkan listrik 220.000 Watt per hari./ANTARA - Prasetia Fauzani
Pekerja membersihkan panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di pondok pesantren Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Wali Barokah di Kota Kediri, Jawa Timur, Kamis (16/5/2019). Pembangunan PLTS senilai Rp10 miliar dengan panel surya seluas 41 meter x 40 meter tersebut mampu menghasilkan listrik 220.000 Watt per hari./ANTARA - Prasetia Fauzani

Bisnis.com, JAKARTA — Bangunan tinggi menjadi salah satu tren dalam pembangunan perkotaan. Konsep bangunan pintar yang menggunakan energi bersih yang terintegrasi dengan panel surya atau solar cell makin diminati pasar.

Melalui fenomena ini, para pemilik gedung, arsitek, desainer rumah dan pemerintah mulai memahami tren dan tantangan termasuk percampuran energi bersih guna untuk membangun solusi konsep hunian hijau dan pintar dalam pembangunan gedung komersial, residensial, dan kawasan industri. Namun, para pengembang masih keberatan atas biaya yang terlalu mahal dalam pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) pada atap bangunan.

Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, besaran biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkit energi tersebut terlalu mahal yakni mencapai 85 persen dari harga BPP lokal.

Adapun, dengan biaya Rp13 juta hingga Rp18 juta per kilowatt peak (KWp) sebagai modal awal, PLTS atap memang masih menjadi pertimbangan penting bagi sebagian besar masyarakat. Hal ini yang mengakibatkan target pemasangan PLTS atap tidak tercapai.

Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Andhika Prastawa mengatakan bahwa permen tersebut membuat para pengembang yang tertarik pada pembangkit energi baru terbarukan merasa nilai keekonomiannya sangat rendah.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan bahwa penggunaan panel surya atau PLTS atap masih sangat minim digunakan oleh pengembang dalam proyek residensial dan komersial mereka.

"[Penggunaan PLTS sudah] mulai, tetapi biaya investasinya masih terlalu tinggi, paling kecil Rp15 juta hingga rata-rata harganya Rp30juta-an, itu baru bisa balik modal 6 tahun. Masih terlalu lama untuk konsumen," tuturnya kepada Bisnis, Selasa (3/9/2019).

Menurutnya, penggunaan panel surya baru bisa digunakan untuk pasar hunian kelas atas karena biaya konstruksi dan biaya pokok yang terlampau mahal. Namun, Ali meyakini bahwa beberapa tahun mendatang penggunaan PLTS atap akan digunakan secara massal oleh para pengembang.

"Bagi para konsumen di pasar hunian Rp500 juta ke bawah masih terbilang mahal karena beban biaya konstruksinya masih terlalu tinggi, untuk pasar hunian Rp1 miliar ke atas memungkinkan," ujarnya.

Menurut Ali, pemerintah perlu memberi subsidi yang lebih atau melakukan produksi PLTS atap secara massal agar biaya konstruksi dan investasinya dapat ditekan oleh pengembang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Putri Salsabila
Editor : Zufrizal
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper