Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susanto mendorong pemerintah untuk tidak menunda penggabungan batasan produksi SKM dan SPM, lantaran hingga saat ini pabrikan rokok besar asing masih menikmati tarif cukai murah.
Tarif cukai di segmen SPM, dicontohkan Heri, memiliki ketimpangan sehingga menekan pabrikan kecil. Dia mencontohkan Pada golongan 1 di segmen rokok mesin SPM, Marlboro (Philip Morris Indonesia) menggunakan tarif cukai Rp 625 per batang. Namun untuk golongan 2A, produk rokok mesin SPM Mevius milik Japan Tobacco Indonesia, memakai tarif Rp 370 per batang atau 40% lebih rendah dari tarif golongan 1.
"Formasi melihat bahwa ini ada ketimpangan. Sama tarifnya, industri kecil kalah, karena kompetitornya raksasa," tegasnya.
Tak hanya Mevius, produk SPM milik perusahaan besar asing lainnya turut menikmati tarif murah. Lucky Strike dan Dunhill yang diproduksi oleh Bentoel grup atau British American Tobacco serta Esse Blue yang dibuat oleh Korean Tobacco Group Indonesia juga menggunakan tarif Rp 370 per batang. "Itu juga perusahaan asing dan golongan gede. Perusahaannya multinasional bermodal kuat," tegasnya.
Permasalahan tarif murah juga terjadi di segmen SKM. A Mild (HM Sampoerna), Djarum Super (Djarum), dan Gudang Garam Surya (Gudang Garam) yang masuk dalam golongan I, menggunakan tarif Rp 590 per batang. Namun produk SKM milik Korean Tobacco, Esse Mild, memakai tarif golongan 2 sebesar Rp 385 per batang.
Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan, mengatakan pabrikan besar asing yang menentang penggabungan adalah mereka yang membayar cukai yang lebih rendah.
“Pengusaha rokok yang protes adalah mereka yang diuntungkan dari kebijakan saat ini. Mereka membayar cukai lebih murah padahal sama-sama menjual rokok yang menyakiti dan tidak banyak menyerap tenaga kerja,” kata Abdillah.
Abdillah menjelaskan, penggabungan SKM dan SPM juga akan mengoptimalkan penerimaan cukai. Pasalnya, pabrikan yang memiliki volume produksi segmen SKM dan SPM di atas tiga miliar batang harus membayar tarif cukai golongan I pada kedua segmen tersebut.
“Kalau misalnya saya pengusaha rokok SPM, saya produksi 2,99 miliar batang SPM. Walau (tarif cukainya) lebih murah beberapa rupiah saja, tapi kalau dikali 2,99 miliar batang? Yang harusnya disubsidi itu UKM. Industri rokok tidak perlu disubsidi,” tegasnya.
Abdillah mengatakan, jika penggabungan SKM dan SPM, maka hal ini dapat meningkatkan angka perokok di Indonesia. Pasalnya, rokok semakin mudah diakses oleh masyarakat karena harganya terjangkau. “Semangat penggabungan SKM dan SPM ini sebenarnya untuk mengurangi perbedaan harga rokok sehingga konsumen tidak bisa beralih ke rokok murah. SKM dan SPM sama-sama buruk untuk kesehatan, sepatutnya digabung,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel