Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mobil Listrik Dapat Setrum dari Batu Bara, Ya Sama Saja

Tanpa adanya regulasi yang jelas, realisasi pertumbuhan kendaraan listrik di Indonesia tidak akan meningkat.
Seorang pria memegang charger mobil listrik di tempat parkir mobil di restoran McDonald's di Sao Paulo, Brasil, 3 Maret 2018. /REUTERS
Seorang pria memegang charger mobil listrik di tempat parkir mobil di restoran McDonald's di Sao Paulo, Brasil, 3 Maret 2018. /REUTERS

Bisnis.com, JAKARTA — Masyarakat Energi Baru Terbarukan mengatakan pemerintah seharusnya membuat peta jalan atau roadmap yang jelas mengenai penggunaan kendaraan listrik di Indonesia untuk mempercepat realisasinya. 

Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengatakan tanpa adanya regulasi yang jelas, realisasi pertumbuhan kendaraan listrik di Indonesia tidak akan meningkat. Terlebih, kendaraan listrik berperan dalam mengurangi emisi karbon. 

Sejumlah pihak harus dilibatkan dalam penyusunan roadmap tersebut mulai dari Kementerian ESDM, kementerian perindustrian, kementerian keuangan, pengusaha otomotif, hingga PLN

"Tidak bisa dari satu sisi yakni kesiapan PLN," katanya kepada Bisnis, Rabu (26/6/2019). 

Menurutnya, selain persoalan regulasi yang jelas, sumber energi listrik yang digunakan untuk kendaraan tersebut juga sebaiknya nonfosil. Surya Darma mengatakan hingga saat ini realisasi bauran energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia, masih jauh dari target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada 2025 yang sebesar 23%. 

Sementara, berdasarkan  data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, hingga saat ini, bauran energi primer pembangkit listrik masih didominasi batu bara yang memiliki porsi sebesar 60,5%. Disusul kemudian gas bumi 22,1%, bahan bakar minyak maupun bahan bakar nabati 5%, dan EBT 12,4%. 

"Sekarang penggunaan kendaraan listrik dipercepat tetapi sumber listrik dari energi fosil ya sama saja kan. Pengurangan emisi karbon terjadi kalau ada penggunaan energi terbarukan yang signifikan," katanya. 

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, realisasi pengurangan emisi karbon pada 2018 mencapai 43,8 juta ton CO2 atau lebih tinggi 21% dari target seharusnya.

Penurunan emisi karbon terus meningkatkan pertumbuhan sejak 2014. Adapun pada 2014, penurunan emisi karbon akibat pemanfaatan EBT dan penerapan efisiensi energi, mencapai 23,38 juta ton CO2, 2015 29,64 CO2, 2016 31,60 CO2, dan 2017 33,9 CO2. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper