Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kementan Bantah Bawang Putih Mahal Karena Wajib Tanam

Setelah kebijakan wajib tanam, jumlah luas panen naik sebesar 250% dan peningkatan produksi naik 200% pada 2018.
Dirut Pupuk Indonesia Aas Asikin Idat (tengah) bersama Wakil Bupati Lombok Timur Hairul Warisin (kanan), Asisten Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi II Kementerian BUMN, Purnomo Sinar Hadi (kedua kanan) dan Dirut Pupuk Kalimantan Timur A Bakir Pasaman (kedua kiri) melakukan panen raya bawang putih di Desa Sembalun Bumbung, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, NTB, Selasa (22/8)./ANTARA-Ahmad Subaidi
Dirut Pupuk Indonesia Aas Asikin Idat (tengah) bersama Wakil Bupati Lombok Timur Hairul Warisin (kanan), Asisten Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi II Kementerian BUMN, Purnomo Sinar Hadi (kedua kanan) dan Dirut Pupuk Kalimantan Timur A Bakir Pasaman (kedua kiri) melakukan panen raya bawang putih di Desa Sembalun Bumbung, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, NTB, Selasa (22/8)./ANTARA-Ahmad Subaidi

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Pertanian menegaskan kebijakan wajib tanam dan produksi bawang putih sebanyak 5% dari pengajuan impor akan terus dilanjutkan. Kebijakan tersebut diyakini bukan pemicu kenaikan harga bawang putih di tingkat konsumen.

"Wajib tanam importir hanyalah salah satu pendekatan yang dilakukan pemerintah guna mendukung pencapaian target swasembada selain melalui dana APBN," ujar Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Direktorat Jenderal Hortikultura, Moh. Ismail Wahab dalam keterangan resmi yang dikutip Bisnis, Selasa (18/6/2019).

Pelibatan importir dalam proses wajib tanam sendiri dimaksudkan untuk menumbuhkan kepedulian dan komitmen kebersamaan. Ismail menyatakan hal ini adalah salah satu langkah untuk mewujudkan kedaulatan pangan nasional khususnya bawang putih.

Meskipun sejumlah kekurangan masih mewarnai pelaksanaan program ini, Kementan mencatat terdapat berbagai keberhasilan. Di antaranya adalah kenaikan jumlah luas panen sebesar 250% dan peningkatan produksi 200% pada 2018 dibanding tahun sebelumnya berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).

"Lahan sudah berubah peruntukan. Iklim juga mengalami pergeseran. Benih lokal awalnya juga sangat terbatas. Kita sudah petakan itu semua. Evaluasi dan pembenahan terus dilakukan bersama semua pihak terkait. Tentu berlaku mekanisme reward and punishment dalam proses ini," kata Ismail.

Kementan memproyeksikan pasokan bawang putih untuk konsumsi dalam negeri masih mengandalkan impor sampai 2021. Sementara itu, produksi dalam negeri termasuk program wajib tanam difokuskan untuk memenuhi kebutuhan benih tanam.

Ismail menuturkan untuk 2019, produksi bawang putih lokal terus digenjot di lebih dari 100 kabupaten dengan menggunakan APBN.

Dari data yang dihimpun pihaknya, rata-rata produktivitas bawang putih lokal nasional sendiri baru mencapai 8 ton per hektare. Namun, di beberapa daerah seperti Sembalun, produktivitas bisa mencapai 12 ton sampai 18 ton per hektare. Produktivitas bahkan tercatat bisa mencapai 20 ton per hektare di Kabupaten Karanganyar.

"Kami akui angka provitas kita masih lebih rendah dari China, tapi soal aroma rasa, kita masih jagonya," klaim Ismail merujuk pada negara yang memasok sebagian besar bawang putih konsumsi ke Indonesia.

Selain memastikan keberlanjutan program wajib tanam, Ismail menyatakan mekanisme penerbitan rekomendasi impor oleh Kementan dan Surat Persetujuan Impor (SPI) oleh Kementerian Perdagangan diklaim masih berjalan sesuai koridor aturan.

Ia pun membantah ada upaya kesengajaan menciptakan kelangkaan pasokan pada bulan-bulan tertentu, sehingga memicu lonjakan harga, seperti yang terjadi beberapa pekan menjelang Ramadan 2019.

Kementan menyatakan stok carry over bawang putih masih mencukupi sampai April 2019. Perhitungan ini didasari data BPS 2018 yang menunjukkan bahwa realisasi impor bawang putih periode November—Desember 2018 berada di angka 227.600 ton. Sementara itu, kebutuhan bulanan nasional berada di kisaran 40.000 ton.

Ismail mengungkapkan perkiraan ini juga telah menyertakan faktor susut bobot selama penyimpanan. Ia pun menilai tren kenaikan harga sudah terjadi mulai Februari dan Maret 2019.

"Bisa jadi ada pihak-pihak yang sengaja menggunakan isu penerbitan RIPH [Rekomendasi Impor Produk Holtikultura] dan SPI untuk mempengaruhi psikologi pasar," ujar Ismail.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper