Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengamat : Aksi Promo Bakar Uang Ojek Online Harus Diatur

Pengaturan promo layanan transportasi daring atau ojol (ojek online) tetap perlu dilakukan sebagai upaya menghindari persaingan tak sehat yang berpotensi menjatuhkankompetitor.
Pengendara ojek online melintasi jalan menuju Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, Selasa (4/6/2019). /ANTARA
Pengendara ojek online melintasi jalan menuju Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, Selasa (4/6/2019). /ANTARA

Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat transportasi menilai pengaturan promo layanan transportasi daring atau ojol (ojek online) tetap perlu dilakukan sebagai upaya menghindari persaingan tak sehat yang berpotensi menjatuhkan kompetitor.


Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI) Harryadin Mahardika mengungkapkan, dugaan adanya jual rugi atau predatory pricing dalam industri ojol cukup kuat. Pasalnya, secara karakter, pasar industri tersebut kini hanya menyisakan dua pemain, Go-Jek dan Grab.


Dengan menyisakan dua pemain tersebut, menurut Harryadin, akan berlaku hukum rivalitas yang ketat, dan saling memangsa. “Secara teori demikian, rivalitas pasar yang hanya dua pemain, akan berlaku hukum yang lebih kuat, akan memangsa dengan upaya apapun lawannya,” jelasnya dalam keterangan Selasa (18/6/2019).


Persoalannya, tegas Harryadin, jika kelak pasar hanya diisi pemain tunggal sebagai pemenang persaingan, maka akan terjadi monopoli. “Hal ini akan merugikan banyak pihak, tarif bisa seenaknya, karena cuma satu pemain,” tukasnya.


Dari dua pemain industri ojol, dia menilai Grab jauh lebih kuat dibandingkan dengan Go-Jek. Apalagi, terdapat suntikan dana segar hingga US$6 miliar dari Softbank selaku investor utama aplikasi ojol asal Malaysia tersebut. Dengan dukungan dana tak terbatas itu, Grab dianggap sangat mampu menghantam satu-satunya pesaing, dengan cara apapun.


Upaya itu pun sejurus dengan berbagai penetrasi pasar yang digawangi Softbank, terdapat prinsip winner takes all. Paling konkret, Harryadin mengingatkan strategi promo jor-joran dengan batas waktu yang panjang, bahkan nyaris setiap waktu.


“Promo Rp1 itu sama saja gratis, atau promo diskon 70% itu sangat besar, ditambah dengan periode jangka waktu yang panjang. Kalau dikatakan promo, itu seharusnya ada jangka waktu atau momen,” tukas Harryadin.


Dia menilai strategi promo mengandung gelagat menjantuhkan tarif layanan. Secara perlahan, sambung Harryadin, terdapat migrasi pelanggan Gojek ke Grab.

“Pemerintah dan regulator harus intervensi ini. Saya melihat bukan lagi promo tetapi predatory promotionatau deep discounting yang juga unsur dari predatory pricing,” simpul Harryadin.


Hal senada diungkapkan Pengamat Transportasi dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna. Menurutnya, indikasi persaingan tidak sehat yang dipicu oleh kegiatan promo gila-gilaan para operator yang mengandalkan modal besar.


“Aksi bakar uang sampai pesaing mati. Bahayanya jika sudah mengarah pemain tunggal, ini yang telah terjadi di beberapa negara,” ujarnya.


Yayat menyoroti situasi di mana pengguna aplikasi Ojol kerapkali dibanjiri tawaran diskon menarik hingga terkadang nyaris tak membayar tunai.


Bahkan, imbuhnya, promo yang ditawarkan Grab pernah menyisakan tarif yang dibayar pelanggan hanya Rp1. “Jadi [promo] tetap harus diatur, walau [wewenangnya] tidak di Kemenhub, otoritas lainnya perlu masuk,” jelas Yayat.


Pendiri Institute for Competition and Policy Analysis (ICPA) Syarkawi Rauf menekankan perlunya pemerintah memastikan terciptanya iklim usaha yang sehat di Indonesia dengan mengatur dua unsur, yaitu persaingan yang sehat antara pemain dan perlindungan konsumen. 

“Ancaman terhadap persaingan usaha yang sehat datang dari dua sumber, yaitu praktik bisnis yang menghambat persaingan dan peraturan pemerintah yang memberatkan persaingan. Dalam kasus transportasi online, negara harus hadir untuk memastikan bahwa tidak ada ancaman bagi iklim persaingan usaha sehat hanya gara-gara perilaku salah satu perusahaan yang promo jor-joraan dan menjurus pada matinya pesaing-pesaing lain,” ujarnya.
 
Menurut Syarkawi, bagaimana pun persaingan yang sehat antara pemain dibutuhkan untuk mendorong terciptanya inovasi, produktivitas, serta penanaman modal yang lebih tinggi.

Persaingan yang sehat juga membantu mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja, karena perusahaan yang lebih kecil bisa memiliki kesempatan untuk bersaing, dan perusahaan yang lebih besar tidak berkuasa tanpa batas.
 
lebih lanjut, Syarkawi Rauf menyatakan dukungannya jika regulator berencana mengkaji ulang peraturan, khususnya Permenhub 12/2019, untuk memastikan praktik persaingan tidak sehat berbalut promo tidak terus berlanjut.

Ini karena persaingan tak sehat rentan terhadap pelanggaran undang-undang, dan akan menjadi preseden yang tidak baik bagi industri lain di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper