Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Revisi HPP Beras Dikhawatirkan Dorong Inflasi

Wacana pemerintah untuk merevisi harga pembelian pemerintah untuk beras dikhawatirkan berdampak pada peningkatan inflasi.
Pedagang menata beras di Pasar Tradisional Pinasungkulan, Manado, Sulawesi Utara, Senin (29/4/2019)./ANTARA-Adwit B Pramono
Pedagang menata beras di Pasar Tradisional Pinasungkulan, Manado, Sulawesi Utara, Senin (29/4/2019)./ANTARA-Adwit B Pramono

Bisnis.com, JAKARTA - Wacana pemerintah untuk merevisi harga pembelian pemerintah (HPP) untuk beras dikhawatirkan berdampak pada peningkatan inflasi.

Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi tetap bersikeras HPP tidak perlu diubah. Menurutnya perubahan itu bisa berpengaruh kepada peningkatan inflasi.

Dia mengatakan pihaknya belum memberikan usulan kepada Kemenko Perekonomian untuk mengubah HPP. "Belum ada usulan karena Bulog bisa beli sesuai HPP dan atau skema komersial. Ya biar saja (HPP) berlaku terus dulu nanti kalau dibakukan [yang baru] terjadi inflasi," katanya, Senin (13/5/2019).

Menurutnya dengan skema saat ini, seharusnya Perum Bulog pun tidak kesulitan untuk menciptakan stabilisasi harga di tingkat petani. Pasalnya selain dibekali oleh Inpres no.5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, Perum Bulog juga diberikan keleluasaan menyerap beras komersial.

Adapun nanti ketika beras komersial digunakan sebagai stabilisasi, maka pemerintah akan mengganti selisih harga yang dikeluarkan perseroan.

Sementara itu, Direktur Pengadaan Perum Bulog Bachtiar mengatakan instansinya masih bisa menyerap gabah 10.000 ton/hari dengan rerata harga sesuai HPP Rp4.070/kg. Adapun realisasi penyerapan gabah setara beras pemerintah sampai 9 Mei berkisar 406.921 ton atau 24,3% dari target Januari-Mei 1,6 juta ton.

Kendati penyerapan masih lemah, Bachtiar tetap meyakinkan bahwa target optimistis tercapai tanpa sedikitpun hambatan berarti. "Jumlah serapan itu tidak rendah karena kami efektif menyeral baru 2 bulan. Antara Januari-Februari kosong [tidak ada panen]. Lagipula stok kami sekarang 2,1 juta ton, itu pun tidak melambatkan penyerapan karena tetap kita serap,"pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper