Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Syarat Target Pertumbuhan Ekspor 8% Tercapai Menurut Kadin

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pekan lalu mengatakan, ekspor nonmigas pada tahun ini ditargetkan tumbuh 8%.
KM Gunung tengah melakukan bongkar muat kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok. Kapal buatan galangan Meyer Werft, Jerman ini bisa mengangkut 98 TEUs kontainer di samping mengangkut penumpang. JIBI/ Rivki Maulana
KM Gunung tengah melakukan bongkar muat kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok. Kapal buatan galangan Meyer Werft, Jerman ini bisa mengangkut 98 TEUs kontainer di samping mengangkut penumpang. JIBI/ Rivki Maulana

Bisnis.com, JAKARTA — Kadin masih menyimpan optimisme target pertumbuhan ekspor nonmigas sebesar 8% bisa tercapai. Syaratnya, pemerintah berhenti bergantung keada ekspor sumber daya alam seperti CPO dan batu bara.

Wakil Ketua Bidang Industri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Johny Darmawan meyakini masih ada harapan target pertumbuhan ekspor nonmigas sebesar 8% pada tahun ini bisa tercapai.

Hanya saja, dia menyangsikan target itu bisa tercapai jika RI hanya mengandalkan ekspor komoditas pertanian seperti CPO dan karet serta sumber daya alam seperti batu bara.

Pasalnya, komoditas-komoditas itu sedang mengalami hambatan berupa harga yang rendah dan sedang diadang oleh kampanye negatif di beberapa negara. Dia mencotohkan CPO yang dihambat oleh Uni Eropa dan batu bara yang terkendala oleh kampanye energi bersih di beberapa negara tujuan utama ekspor.

“Kalau dari sisi industri pengolahan, memang sudah ada tanda-tanda bergeliat, terbukti dari impor bahan baku dan penolong kita yang tumbuh Maret lalu. Namun, perlu diingat, apakah produk-produk olahan kita ini bisa langsung diterima negara mitra? Jujur saja, daya saing produk olahan kita masih rendah. Hal itu yang sulit bagi kita,” jelasnya.

Untuk itu, dia meminta adanya konsistensi kebijakan dan insentif dari pemerintah. Pasalnya, bagi sektor industri terutama yang berbasis ekspor, insentif dari pemerintah dinilai masih kurang. Dia bahkan menyoroti tidak konsistennya kebijakan dari pemeirntah untuk mendorong ekspor.

“Banyak hal, seperti industri pengolahan smelter. Awalnya sudah didorong agar ada penghiliran di dalam negeri, tetapi di tengah jalan ekspor barang mentahnya dibuka kembali. Padahal, kita tahu harga produk mentah itu justru rawan terguncang secara global,” jelasnya.

Maka dari itu, dia tidak heran apabila sepanjang kuartal I/2019 nilai ekspor produk pengolahan masih terkoreksi hingga -6,61% secara yoy menjadi US$29,92 miliar.

Dia pun menyangsikan upaya pemerintah yang mendasarkan kenaikan target ekspor tahun ini melalui peningkatan kapasitas sejumlah industri. Menurutnya, peningkatan kapasitas industri tidak serta merta dapat berdampak langsung kepada kenaikan ekspor, lantaran prosesnya yang membutuhkan waktu.

Dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno menilai, target pertumbuhan ekspor 8% masih cukup terjangkau pada saat ini. Akan tetapi, target itu akan sulit tercapai apabila pemerintah tidak merealisasikan insentif yang paling krusial, yakni kredit ekspor.

“Selain itu, kalau kita masih andalkan produk mentah untuk diekspor, akan sulit untuk tumbuh di tengah tingginya ketidak pastian global. Manufaktur kita pun belum mampu mengimbangi kinerja ekspor dari produk mentah,” jelasnya.

Di sisi lain, dia belum melihat adanya dampak yang signifikan dari perjanjian dagang yang sedang dijalin oleh Indonesia pada tahun ini. Sebab, menurutnya, belum ada pakta dagang selain yang dijalin bersama dengan Asean yang sudah dapat direalisasikan pada tahun ini.

Sejumlah pakta dagang yang digadang-gadang akan memberikan dampak besar terhadap kinerja ekspor RI, seperti Indonesia-Australia Comprehensive Economic Patnership Agreement (IA-CEPA), baru bisa direalisasikan pada akhir tahun ini atau tahun depan.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pekan lalu mengatakan, ekspor nonmigas pada tahun ini ditargetkan tumbuh 8%. Hal itu, sebutnya, didasarkan pada cepatnya perkembangan digitalisasi infrastruktur industri dan sosial di seluruh dunia dalam Revolusi Industri 4.0.

Enggartiasto meyakini target tersebut akan tercapai dengan adanya dukungan peningkatan kapasitas industri dan peningkatan pembukaan pasar-pasar baru tujuan ekspor serta percepatan perjanjian yang dilakukan Kementerian Perdagangan.

Dukungan lain terhadap ekspor nonmigas, menurutnya akan datang dari sektor-sektor yang menjadi prioritas pada era Revolusi Industri 4.0. yakni makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronik, dan kimia.

“Pada 2019, ekspor tekstil dan produk tekstil diproyeksikan meningkat hingga 30%. Ekspor produk makanan dan minuman juga diprediksi akan meningkat dan semakin kompetitif,” jelasnya.

Dia melanjutkan, strategi lain yang dilakukan Kemendag yaitu memfokuskan kembali pada produk industri olahan yang bernilai tambah tinggi dan diversifikasi produk ekspor. Selain itu, pemerintah akan berusaha mengelola tata niaga impor dengan lebih baik, meninjau perjanjian perdagangan yang ada, serta menjalin perdagangan dengan mitra-mitra dagang baru.

“Kami juga akan menggalakkan forum bisnis dan penjajakan bisnis di negara mitra, mengembangkan ekspor jasa dan ekonomi kreatif, serta meminimalkan tindakan trade measure terhadap Indonesia,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper