Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI: MRT, Sumimasen  dan Budaya Urban

Kaum urban Jakarta kini punya mimpi bersama: bebas macet. Punya transportasi publik modern dan bagus. Jalur pedestrian yang lebar dan rindang agar setara dengan kota besar dunia lainnya.

Bisnis.com, JAKARTA – Beberapa waktu lalu Pemprov DKI Jakarta gencar berkirim pesan pendek, “Ikuti Uji Coba Publik MRT Jakarta gratis sampai 24 Maret”.

Pesan ini seirama dengan ramainya media sosial kita. Wajah gembira, mereka yang telah mencoba kereta MRT (Mass Rapid Transportation).

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah berulang kali mencobanya. Apalagi mendekati masa pencoblosan ini, baik didampingi Gubernur Anies Baswedan, para pejabat, wartawan hingga selebritas negeri ini. Ramai pokoknya.

Antusiasme ini menginggatkan kita saat publik pertama kali mencoba bus Transjakarta. Pada 15 Januari 2004, Gubernur Sutiyoso meresmikan koridor I Blok M-Kota. Riuh rendah, ribuan warga rela antre, teratur.

Dan setelah lima belas tahun, Jakarta memiliki moda transportasi baru. Ikon baru: MRT Jakarta. Presiden Jokowi sudah meresmikan rute Lebak Bulus-Bundaran HI pada 24 Maret. Tentu saja ini hal membanggakan walau terhitung sangat terlambat.

MRT di London, Inggris atau lebih dikenal dengan The Tube sudah merayakan umurnya ke 156 tahun. The Tube pertama kali beroperasi pada tahun 1863 dan kemudian berganti menjadi kereta listrik bawah tanah sejak 1890. Jepang mulai mengoperasikan jalur subway pada 1927 untuk jalur Ueno dan Asakusa.

Yang pasti, kaum urban Jakarta kini punya mimpi bersama: bebas macet. Punya transportasi publik modern dan bagus. Jalur pedestrian yang lebar dan rindang agar setara dengan kota besar dunia lainnya.

Memang, untuk mega cities—termasuk Jakarta, transportasi masal adalah keharusan. Dengan jaringan jalur yang kuat, dialah tulang punggung kota sebenarnya. Mengantarkan jutaan warganya dengan murah, mudah, dan cepat.

Namun, membangun MRT butuh biaya mahal sekali. Itulah mengapa Pemprov DKI Jakarta dulu memilih mengeksekusi bus Transjakarta, karena pembangunan, perawatannya, dan operasionalnya lebih murah.

Kini, Jepang jadi sponsor pembangunan MRT Jakarta. Pinjaman fase I Lebak Bulus-Bundaran HI sudah dicairkan sebesar 125 miliar yen. Lantas, pinjaman baru yang siap diberikan fase II tahap satu Bundaran HI-Kampung Bandan senilai 70,2 miliar yen atau setara dengan Rp24,9 triliun.

Untuk pengelolaan dan perawatan MRT, tidak ada ceritanya dapat tertutupi dari penjualan tiket. Bahkan, kalau bisa harga tiket harus semurah mungkin. Harapannya, orang mau naik dan meninggalkan mobil pribadi. Untuk itu perlu subsidi.

Karenanya, penggelola MRT harus cerdik dalam mencari pemasukan lain. Dari penempatan iklan, penyewaan area stasiun untuk bisnis atau beragam kerja sama yang menguntungkan. Hal ini bertujuan agar subsidi yang dikucurkan tidak membuat merana APBD dan APBN untuk menutupnya.

Jepang yang sudah matang berMRT ini, tentu saja harus berbagi pengalaman terbaiknya. Tak cuma meminjamkan uang saja. Termasuk membagi pengalaman untuk hal remeh temeh: kebersihan, disiplin, hingga perilaku kaum urbannya.

Sumimasen (sue-mee-mah-sen) adalah kata kunci saat naik MRT di Jepang. Kata itu berarti ‘maafkan saya’. Di jam sibuk, padat, pasti susah untuk keluar. Karena terhimpit puluhan penumpang lainnya, ia jadi kata penyelamat. Penumpang lain akan segera memberi ruang. Bahkan ditambah senyum.

Sistem subway di Jepang terhitung kompleks. Tentu ada etika standar yang harus kita penuhi. Sama seperti saat kita naik bus Transjakarta atau kereta rel listrik (KRL). Misalnya dengan tidak makan dan minum, taat memberikan kursi prioritas untuk kaum lansia dan juga ibu hamil.

Selain itu tidak memilih berdiri di dekat pintu. Ini terlihat sederhana tetapi saat jam sibuk, tentu tak nyaman jika ada yang mendorong kita. Pastikan pula kita mendahulukan mereka yang turun.

Konstruksi MRT, yang menghujam jauh ke dalam bumi, menjadikan eskalatornya sangat curam. Biasanya, penumpang membaginya jadi dua sisi. Mereka yang berdiam diri akan berdiri di sebelah kiri agar ada ruang bagi penumpang yang bergegas dan memilih berjalan di eskalator.

Di media sosial pun kini viral. Banyak yang mengeluhkan perilaku warga Jakarta saat uji coba MRT. Mereka hanya berdiri di escalator dan tidak memberikan ruang bagi yang ingin berjalan dan mendahului. Dianggap tidak berperilaku bak kaum urban yang paham menggunakan MRT.

Lalu bagaimana baiknya? East Japan Railway Company, akhir 2018, meluncurkan kampanye agar penumpang berdiri di dua sisi eskalator. Tujuannya untuk mengurangi kecelakaan akibat berdesakan atau bertabrakan. Pertimbangan lainnya, ada penumpang manula dan berkebutuhan khusus.

Ternyata kampanye ini sudah menjadi inisitatif global. Pada 2016, otoritas transportasi di London dan Washington DC telah melakukan hal serupa. Hal yang menarik, bila praktik ini dilakukan, ternyata pelayanan lebih efisien.

Banyaknya jalur baru membuat MRT makin menghujam ke bumi. Ketinggian eskalator pun makin curam. Imbasnya banyak yang tidak menggunakan jalur sebelah kanan untuk berjalan. Ini berarti sisi tersebut kosong, tidak terpakai.

Pada 2002, London School of Economics membuat kajian tentang hal ini. Hasilnya, pengunaan aturan semua sisi untuk berdiri. Hal ini membuat peningkatan 30% penumpang terlayani. Sekitar 3.500 lebih banyak orang naik eskalator per jam. Jumlah yang signifikan.

Satu hal lagi yang juga penting adalah integrasi. MRT Jakarta harus didukung jaringan feeder (pengumpan). Kalau tidak, MRT bisa kosong dan hanya terisi saat jam sibuk saja. Seharusnya, kini jaringan bus Transjakarta hanya berfungsi sebagai feeder.

Idealnya, bus Transjakarta koridor Blok M-Kota ditutup agar tidak terjadi ‘jeruk makan jeruk’. Busnya dialihkan memperkuat koridor lain. Sementara waktu, untuk layanan dari Bundaran HI ke Shelter Transit Harmoni bisa mengalihkan bus low deck jalur Bundaran Senayan ke Bundaran HI yang gratis ke sana. Alhasil, pelayanan diharapkan tetap terjaga.

Intergrasi juga membutuhkan sistem ticketing handal. Sangat ideal bila satu kartu bisa digunakan untuk naik MRT, bus Transjakarta hingga KRL. Entah misalnya bila Presiden Jokowi-KH Ma’ruf Amin menang Pilpres, kartu itu juga dapat terhubung dengan kartu Indonesia Pintar, Indonesia Sehat atau kartu lainnya. Atau kalau yang menang Prabowo-Sandiaga, bisa jadi cukup satu kartu e-KTP untuk melayani semuanya.

*) Artikel dimuat di headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Selasa (26/3/2019)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper