Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

AKSES PASAR CPO : Mungkinkah Petani Kecil Pasok Biofuel ke Eropa?

Keputusan Komisi Eropa yang memperbolehkan pasokan minyak sawit untuk biofuel dari kebun plasma atau petani mandiri justru berpeluang menimbulkan pekerjaan rumah baru.
Petani memindahkan kelapa sawit hasil panen ke atas truk di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (4/4/2018)./JIBI-Rachman
Petani memindahkan kelapa sawit hasil panen ke atas truk di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (4/4/2018)./JIBI-Rachman

Bisnis.com, JAKARTA -  Keputusan Komisi Eropa yang memperbolehkan pasokan minyak sawit untuk biofuel dari kebun plasma atau petani mandiri justru berpeluang menimbulkan pekerjaan rumah baru.

Komisi Eropa telah menetapkan keputusan untuk menghapus penggunaan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) untuk bahan bakar. Dalam pernyataannya, Komisi Eropa menganggap CPO tidak layak dijadikan bahan bakar lantaran produksinya merusak lingkungan.

Menurut Komisi Eropa, 45% dari ekspansi produksi minyak sawit sejak 2008 menyebabkan kerusakan hutan, lahan basah atau lahan gambut, dan pelepasan gas rumah kaca yang dihasilkan. Jumlah itu lebih besar dibanding dampak serupa yang timbul akibat ekspansi produk kedelai, bunga matahari, dan rapeseed.

Akan tetapi, Komisi Eropa masih membuka ruang bagi petani mandiri maupun plasma yang bisa membuktikan keberhasilan intensifikasi lahan dan skema keberlanjutan untuk memasok kebutuhan minyak sawit. Petani yang dimaksud oleh Komisi Eropa berarti pihak yang memiliki lahan kurang dari 2 hektare. Petani yang melakukan budi daya di tanah terlantar pun dibatasi luasannya. 

Komisi Eropa menganggap kebijakan itu, merupakan salah satu bentuk kepedulian mereka terhadap keberlangsungan petani kecil di negara produsen.

Menanggapi hal ini, Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengatakan komitmen Komisi Eropa pada dasarnya bertumpu pada deforestasi. Maka dari itu, petani masih berpeluang untuk bisa memasok ke Uni Eropa.

"Kalau untuk biofuel, masih ada peluang yakni dengan petani kelapa sawit, asalkan mampu mememenuhi standar tertentu seperti tidak dari lahan deforestasi, bisa mempraktekkan High Carbon Stock [HCS] dan petani mampu meningkat produktivitas nya," katanya kepada Bisnis, belum lama ini.

Namun, Mansuetus menilai syarat yang diberikan oleh Komisi Eropa pun terhitung sebagai tantangan yang besar. Pasalnya, HCS perlu dibuktikan bahwa itu berada di luar kawasan hutan.

Mansuetus mengatakan apabila Komisi Eropa mau memberikan insentif bagi petani maka tantangan itu bisa diatasi.

"Tetapi jika itu adalah jaminan untuk akses pasar yang bagus dan mampu menambah harga TBS dengan model insentif tertentu pasti petani mau. Ketimbang jual ke tengkulak, harganya setengah dari ketentuan maka kemungkinan petani akan memilih jalur lansung pasar itu," tegasnya.

Untuk bisa mengakses pasar tersebut, lanjutnya, petani harus bisa bekerjasama dengan perusahaan yang telah menjadi member High Carbon Stock Approach (HCSA). Adapun HCSA telah terintegrasi dengan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). Adapun perusahaan raksasa minyak sawit seperti Wilmar, Sinarmas dan Asian Agri telah bergabung kedalamnya.

"Dalam implementasinya soal HCS itu, bisa dalam bentuk hutan adat dimana disekitarnya ada petani sawit. Tinggal bagaimana kita mendefinisikan hutan adat itu dalam konteks lapangan," katanya.

Sementara itu dalam permasalahan keputusan Komisi Eropa, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono pemerintah akan tetap melakukan jalur diplomasi ke Uni Eropa.

"Pemerintah akan melakukan diplomasi dengan mengirim high level delegation setingkat Menteri ke Uni Eropa yang direncanakan pada minggu pertama April 2019. Delegasi Indonesia, Malaysia dan Kolombia. Pada saat pertemuan akan dibahas juga biofuel dari sawit," katanya kepada Bisnis.

Di sisi lain, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menilai upaya UE tersebut merupakan salah satu bentuk adu domba antara produsen besar dan petani plasma. Pasalnya, kebijakan itu akan membuat petani plasma merasa diuntungkan dengan kebijakan itu.

“Kita harus waspada. kebijakan itu bisa jadi merupakan bentuk adu domba mereka terhadap industri kita di dalam negeri. Perlawanan melalui WTO sudah menjadi langkah yang tepat,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper