Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI: Menjaga Optimisme di Ujung Tahun Politik

Pilpres menjadi pertaruhan untuk memacu daya tarik investasi. Di sisi lain, bencana beruntun sepanjang 2018 dan maraknya operasi tangkap tangan (OTT) KPK secara tidak langsung juga rentan terhadap sentimen daya tarik investasi.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Asia 2018-2018 versi IMF./Bisnis-Radityo Eko
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Asia 2018-2018 versi IMF./Bisnis-Radityo Eko

Bisnis.com, JAKARTA – Tahun politik dengan berbagai kegaduhan yang ditimbulkan ternyata memicu sentimen negatif terhadap daya tarik investasi. Oleh karenanya persepsi investasi di tahun ini bisa jadi mengandung dualisme.

Di satu sisi optimistis meskipun di sisi lain juga bernada pesimistis. Argumen yang mendasari adalah siklus 20 tahun terakhir ketika terjadi pesta demokrasi. Ternyata daya tarik investasi cenderung meredup dan karenanya beralasan jika di tahun ini muncul juga ancaman wait and see. Bahkan bukan tidak mungkin berubah menjadi wait and worry.

Paling tidak perubahan itu dapat terjadi jika situasi pasca pemilihan presiden bulan depan terjadi kegaduhan. Padahal, di awal tahun menjelang pilpres telah terjadi berbagai kisruh mulai dari hoax, ujaran kebencian dan persoalan tentang debat capres.

Beralasan jika daya tarik investasi di tahun ini mengalami perlambatan. Pertanyaannya, bagaimana prospek dan tantangan investasi di tahun politik?

Pertemuan tahunan IMF–Bank Dunia di Bali beberapa waktu lalu membawa prospek dan tantangan bagi target maupun realisasi investasi. Paling tidak, argumen yang mendasari yaitu target investasi di 2018 sebesar Rp765 triliun dengan realisasi Rp721,3 triliun atau 94,3%.

Adapun target pertumbuhan di tahun ini sebesar 5,3% dengan dukungan pertumbuhan investasi 7%. Hal yang perlu digarisbawahi adalah nilai tukar rupiah harus dibawah Rp15.000 per dolar AS. Oleh karena itu, dipastikan target dan tantangan pencapaian investasi di 2019 kian berat dan situasinya dapat berkembang makin kompleks jika iklim sosial politik di dalam negeri tidak kondusif.

Hal ini menggambarkan bahwa pilpres menjadi pertaruhan untuk memacu daya tarik investasi. Di sisi lain, bencana beruntun sepanjang 2018 dan maraknya operasi tangkap tangan (OTT) KPK secara tidak langsung juga rentan terhadap sentimen daya tarik investasi.

Data BKPM menunjukkan bahwa pada triwulan III 2018 realisasi PMDN Rp84,7 triliun, naik 30,5% dibandingkan dengan periode yang sama 2017 (Rp64,9 triliun). Adapun PMA Rp89,1 triliun, turun 20,2% dibandingkan dengan periode yang sama 2017 (Rp111,7 triliun).

Berdasarkan lokasi lima besar investasi didapati bahwa Jawa Barat diposisi tertinggi yaitu Rp29,3 triliun (16,8%), disusul secara gradual oleh DKI Jakarta Rp26,2 triliun (15,1%), Banten Rp16,1 triliun (9,3%), Jawa Tengah Rp14,3 triliun (8,2%), dan Jawa Timur Rp11,5 triliun (6,6%).

Di sisi lain realisasi investasi (PMDN dan PMA) berdasarkan lima besar sektor usaha adalah transportasi, gudang, dan telekomunikasi Rp30,4 triliun (17,5%); listrik, gas, dan air Rp28,6 triliun (16,5%); pertambangan Rp16,1 triliun (9,3%); perumahan, kawasan industri dan perkantoran Rp13,6 triliun (7,8%); dan industri makanan (Rp13,3 triliun (7,6%).

Dari negara asal yang membenamkan modal di negeri ini (PMA), Singapura di nomor wahid yaitu US$1,6 miliar (24,2%). Selanjutnya Jepang US$1,4 miliar (21,2%), Hong Kong US$0,5 miliar (7,6%), Malaysia US$0,5 miliar (7,6%), dan China US$0,5 miliar (7,6%).

Dinamika denyut roda perekonomian domestik juga bisa dilihat dari penyerapan tenaga kerja triwulan III 2018 yang mencapai 213.731 orang, yaitu 89.622 orang pada proyek PMDN dan 124.109 orang pada proyek PMA.

Kita berharap gelaran pilpres tidak mengganggu iklim investasi meski tensi sosial politik meningkat. Dalam kaitan ini ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Pertama, kepastian hukum. Hal ini mutlak diperlukan untuk orientasi investasi jangka panjang.

Pemerintah berkepentingan membuat regulasi yang mampu memberikan kepastian berusaha melalui prosedural legal formal. Pelaksanaannya dapat meliputi aspek kemudahan perizinan, termasuk kemudahan bongkar muat di pelabuhan.

Komitmen pemerintah melakukan sapu bersih terhadap semua suap dan pungli di semua lini sudah tepat dan jangan sampai goyah di ujung tahun politik ini.

Kedua, jaminan ketersediaan upah murah. Pemahaman tentang upah murah adalah standar upah yang cenderung kompetitif. Asumsi yang mendasari karena upah yang terlalu murah juga rentan terhadap konflik industrialisasi. Pasalnya, demo buruh bisa marak.

Oleh karena itu, penetapan besaran upah minimum provinsi (UMP) menjadi acuan pelaku usaha-industri untuk memetakan potensi setiap daerah dalam memenuhi rencana ekspansi usaha dan target investasi. Misalnya saja pengembangan kawasan industri. Pada dasarnya ini merupakan potensi bagi dunia usaha untuk mencari celah (daerah) dengan biaya tenaga kerja yang kompetitif.

Relokasi Industri

Hal ini mengisyaratkan potensi relokasi industri jika besaran upah di satu daerah terlalu besar jika dibandingkan dengan daerah lain. Faktor ini perlu dicermati untuk memacu daya tarik investasi, apalagi besaran UMP 2019 ditetapkan naik 8,03%.

Ketiga, besaran pajak. Pajak merupakan cost yang harus dihitung, karena berkaitan dengan pendapatan negara dan beban bagi dunia usaha. Oleh karena itu, pajak yang terlalu besar atau apalagi pajak ganda harus dipangkas. Pemerintah memang berkepentingan dengan pajak untuk pemasukan bagi APBN meski di sisi lain harus juga mempertimbangkan kemampuan dunia usaha agar tidak terlalu membebani, sehingga berpengaruh terhadap daya saing.

Data Kementerian Keuangan memberi gambaran peneriman negara 2018 mencapai Rp1.942,3 triliun atau 102,5% dari target. Hal ini disokong penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang naik 1,5 kali yaitu mencapai Rp407,1 triliun atau 147,8% dari target, sehingga tumbuh 30,8% lebih tinggi dibandingkan dengan 2017 yang hanya tumbuh 18,8%.

Ironisnya, sektor pajak hanya menyumbang Rp1.315,9 triliun atau 92,4% dari target Rp1.424 triliun. Pencapaian ini lebih rendah dari proyeksi 94,8% dari target APBN 2018.

Keempat, jaminan iklim sospol yang kondusif. Sukses pilkada serentak 2018 menjadi pertimbangan penting investor dan dunia usaha untuk tidak lagi bersikap wait and see terhadap potensi konflik. Sikap wait and see juga bisa berubah menjadi wait and worry jika ada riak konflik sosial politik.

Sukses pilkada yang minim gugatan menjadi sinyal positif untuk memacu ekonomi. Namun masih ada puncak tahun politik berupa pilpres April mendatang yang perlu dikawal kelancarannya hingga tuntas.

Kelima, sumber daya dan pasar. Investasi akan meningkat jika dekat kedua unsur tersebut. Jika ini berhasil dikembangkan secara lebih kompetitif, akan lebih deras pula guyuran investasi maupun penyerapan tenaga kerja.

Fakta di berbagai bidang menunjukan bahwa salah satu ancaman daya saing adalah biaya ekonomi yang terlalu tinggi yang disebabkan oleh berbagai ongkos nonproduktif. Jika rangkaian inefisiensi ini makin panjang, daya saing produk Indonesia tidak akan kemana-mana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper