Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekspor China Anjlok Pada Februari, Surplus Perdagangan Meleset dari Perkiraan

Serangkaian langkah dukungan yang dilancarkan pemerintah China terbukti belum mampu mengangkat perekonomian Negeri Tirai Bambu. Ekspor China mencatat penurunan terbesar dalam tiga tahun bulan lalu, sedangkan impornya turun untuk bulan ketiga berturut-turut.
Ekonomi China./.Reuters
Ekonomi China./.Reuters

Bisnis.com, JAKARTA — Serangkaian langkah dukungan yang dilancarkan pemerintah China terbukti belum mampu mengangkat perekonomian Negeri Tirai Bambu. Ekspor China mencatat penurunan terbesar dalam tiga tahun bulan lalu, sedangkan impornya turun untuk bulan ketiga berturut-turut.

Menurut data bea cukai China yang dirilis hari ini, Jumat (8/3/2019), ekspor pada Februari 2019 anjlok 20,7% dari tahun sebelumnya, penurunan terbesar sejak Februari 2016.

Realisasi ini jauh lebih besar dari perkiraan penurunan sebesar 4,8% oleh para ekonom dalam survei Reuters serta berbanding terbalik dengan lonjakan tak terduga sebesar 9,1% pada Januari.

Sementara itu, impor pada Februari turun 5,2% dari tahun sebelumnya, lebih buruk dari proyeksi analis untuk penurunan 1,4% juga lebih besar dari penurunan 1,5% pada Januari.

Dengan demikian, China mencatat surplus perdagangan sebesar US$4,12 miliar untuk Februari, jauh lebih kecil dari perkiraan sebesar US$26,38 miliar.

Sejumlah analis memperingatkan bahwa data dari China dalam dua bulan pertama tahun ini harus dicermati dengan hati-hati karena disrupsi bisnis yang disebabkan oleh liburan panjang Tahun Baru Imlek, yang dimulai pada 4 Februari tahun ini.

 “Angka perdagangan hari ini memperkuat pandangan kami bahwa resesi perdagangan China telah mulai muncul,” tulis Raymond Yeung, kepala ekonom Greater China di ANZ, dalam risetnya, seperti diberitakan Reuters.

“Ekspor China sudah mencatat pertumbuhan negatif pada Desember [2018]. Angka-angka kuat pada bulan Januari tidak dapat diandalkan karena distorsi dari periode liburan Tahun Baru Imlek,” terang Yeung.

Banyak pengamat telah memperkirakan awal yang lemah untuk tahun ini setelah survei-survei pabrik menunjukkan berkurangnya pesanan domestik dan ekspor, sedangkan perselisihan perdagangan antara China dan Amerika Serikat (AS) masih belum terselesaikan.

Data perdagangan China itu dirilis di tengah perundingan yang telah berjalan intens selama beberapa bulan terakhir anatra kedua negara demi mengakhiri konflik perdagangan mereka.

Pada Rabu (6/3), pemerintah AS melaporkan defisit perdagangan barangnya dengan China melonjak ke level tertinggi sepanjang masa pada tahun lalu.

Sementara itu data perdagangan China hari ini menunjukkan surplus perdagangannya dengan AS menyempit menjadi US$14,72 miliar pada Februari dari US$27,3 miliar pada Januari. China juga telah berjanji untuk membeli lebih banyak barang AS seperti produk pertanian, sebagai bagian dari diskusi perdagangan mereka.

Ekonomi China sudah melambat tahun lalu sebelum tensi perdagangan antara kedua negara meningkat, sebagian karena tindak keras pada pinjaman berisiko yang membuat banyak perusahaan swasta dan berskala lebih kecil kekurangan investasi.

Sementara itu, kampanye jangka panjang untuk mengurangi polusi dan industri bernilai rendah juga memperlambat sektor manufaktur China.

Pada pertemuan tahunan parlemen China pada Selasa (5/3), Perdana Menteri Li Keqiang mengatakan pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,0%-6,5% pada 2019. Target ini lebih rendah daripada yang ditetapkan sebelumnya.

Di sisi lain, pemerintah China juga menyatakan akan memangkas pajak, meningkatkan investasi infrastruktur, dan meningkatkan pinjaman kepada perusahaan kecil di tengah upaya pemerintah untuk menopang ekonomi.

Menurut Li, untuk membantu menopang perekonomian, kebijakan fiskal China akan menjadi “lebih kuat". Pemerintah menetapkan pemangkasan senilai hampir 2 triliun yuan (US$298,31 miliar) dalam hal pajak dan biaya-biaya untuk perusahaan.

Pajak pertambahan nilai (PPN) juga akan dikurangi demi mendukung sektor manufaktur, transportasi, dan konstruksi.

“China akan memangkas pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sektor manufaktur menjadi 13% dari 16%, dan PPN untuk sektor transportasi dan konstruksi menjadi 9% dari 10%,” ujar Li, seperti dilansir Reuters.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper